Oleh BINTANG IRIANTO*
PILPRES dan Pileg 2019 sebentar lagi. Masyarakat akan kembali diramaikan dengan pesta demokrasi. Menjadi sangat wajar, kalau kemudian proses kemeriahan tersebut akan semakin semarak, serta semakin menarik oleh konstestan yang akan “bertarung”.
Kenapa dikatakan menarik, karena proses politik akan mengerucut pada pemilihan orang penting yang akan menjadi penguasa di tahun 2019 dengan cara yang demokratis. Sehingga aura pusaran pergeseran pengamatan, semuanya terus menjadi bahan pembicaraan yang tidak akan berhenti untuk membahas ini.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa pergesaran untuk menentukan siapa pada kontestasi politik sedang dilakukan sehingga kita hanya mengetahui perhelatannya saja.
Dalam proses politik pun, dimensi tersebut memunculkan banyak persoalan dari yang bersifat pro dan kontra terhadap visi politik dan sampai hal-hal yang bersifat privasi, dimana isu-isu yang tidak produktif dan tidak terjadi secara sebenarnya menjadi sangat terbuka sekarang ini.
Apakah ini merupakan sebuah kemungkinan yang secara tiba-tiba datang? Tidak juga. Akan tetapi terkadang semua dimensi dilakukan untuk mendapatkan tujuan, itu yang disebut dengan kamuflase politik.
Disebut dengan kamuflase politik, dikarenakan sesuatu yang sebenarnya bukan terjadi dengan apa adanya, seolah-olah dijadikan sebagai sesuatu yang terjadi dan masuk dalam standar politik. Semisal persoalan standar politik yang kita kenal sekarang ini, adalah lebih menitik beratkan kepada unsur-unsur keilmuan, seperti visi dan misi, fundraise, strategi dan taktik, agitasi dan propaganda, serta marketing politik, semua itu sudah menjadi kewajaran kalau dijadikan sebagai sebuah metode dalam proses pemenangan.
Akan tetapi, jika tidak masuk dalam standar politik lantas kemudian mengemuka, maka bisa dikatakan itu merupakan kamuflase politik.
Sesuatu yang Samar Dijadikan Nyata
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam persoalan politik memang harus ada yang disebut dengan standar atau barometer. Akan tetapi memang bisa dikatakan politik seperti tidak mempunyai ruang dan lingkup, atau kalau boleh dikatakan ruangnya sangat liar.
Biasanya dalam standar politik yang sering digunakan kebanyakannya adalah agitasi dan propaganda, karena Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah membangkitkan perhatian atau mendorong, sedangkan propaganda adalah sebuah rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin. Maka boleh dikatakan bahwa definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut, sedangkan propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.
Akan tetapi definisi ini berbeda kenyataan dengan saat masuk pada Pilpres 2019. Maknanya yang terlahir tidak seperti definisi yang sebenarnya. Agitasi dan propaganda dijadikan sebagai standar politik, sehingga keliaran politik pada dimensi lain seperti menjadi sesuatu yang nyata. Hal ini menjadi sebuah masalah tersendiri bagi persoalan dengan informasi politik yang dijadikan sebagai sebuah proses agitasi dan propaganda, sehingga melahirkan banyak praduga terhadap situasi dan kondisi tertentu.
Kejadian-kejadian tersebut bisa kita lihat saat persoalan-persoalan keagamaan atau SARA, atau kemudian memproduk isu-isu SARA dengan menggunakan agitasi dan propaganda. Maka dampaknya akan luar biasa dan tentunya menganggu sendi-sendi demokrasi kita.
Survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Madani Indonesia yang pernah diberitakan di Media Online nasional menyatakan, bahwa isu SARA bersifat menyeranng pribadi, dan dampaknya akan lebih berbahaya dari pada politik uang. Karena politik SARA sifatnya bisa meluas, sedangkan politik uang sifatnya terlokalisir hanya pada daerah yang menjadi tempat objek politik itu bergerak. Selain itu, politik SARA juga berdampak pada dimensi psikologi, ketika isu SARA itu muncul.
Seperti kita melihat, di media sosial isu-isu tentang SARA muncul seperti isu-isu agama yang dijadikan sebagai senjata politik untuk membungkam atau melegitimasi sebuah model pergerakan. Hal ini akan memberikan efek psikologi tersendiri bagi berjalannya demokrasi, karena ketika agama masuk dalam ranah politik, maka sisi spirit kemanusiaan akan hilang, atau bisa dikatakan bahwa sisi humanisme yang sangat luas hanya dipersempit dengan tafsir-tafsir politik.
Contoh munculnya isu tentang partai setan, isu China dan isu-isu lainya menjadi persoalan tersendiri dan menurut penulis sangat riskan berkaitan dengan kesatuan dan persatuan sebuah bangsa.
Politik Adalah Adu Program
Oleh karenanya menjadi sangat dikhawatirkan kalau kemudian proses politisasi menggunakan atau memunculkan masalah-masalah SARA, karena hal itu menjadi tidak fair sebagai sebuah proses untuk memperkuat demokrasi. Biarpun diandaikan politik praktis sangat liar dan terkadang tidak ada barometernya, akan tetapi hal ini menciderai ‘makna atau pengertian politik’ itu sendiri. Karena, tujuan politik sebenarnya mulia, yaitu membangun sistem negara secara lebih baik, seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno, pengertian politik segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara.
Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan, suatu tindakan harus disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan.
Makna ini bila disadari, menjadikan kerangka proses politik adalah tentang sebuah visi dan misi, bagaimana membangun negara dan bangsa kepada kemajuan di sebua era. Sehingga kesejahteraan dam keadilan serta kemakmuran merupakan instrumen isu yang dijadikan dasar dalam propaganda dan agitasi politik dalam market ide.
Sehingga demokrasi yang terus dibangun akan lebih terlihat progresnya menjadi sebuah proses pembangunan yang nyata bagi masyarakat.
Dengan adu program tersebut, paling tidak antara tokoh-tokoh yang maju dalam pilpres akan semakin menarik dengan program-program yang dimunculkan, sehingga bila terjadi perdebatan-perdebatan itu masuk dalam ‘dialektika pembangunan’, yang pada akhirnya makna dari politik adalah tujuan untuk mensejahterahkan masyarakat akan terasa dengan berbagai ide yang diperdebatkan. Semoga, adu gagasan, adu visi dan misi serta adu program menjadi sebuah potret bagi perkembangan demokrasi kita di Pemilihan Presiden di tahun 2019 nanti. Wallahu ‘a’lam bishawab.
*Analis politik dan kebijakan publik.