Pengangguran Terdidik Meningkat, Gelar Sarjana Bukan Penentu Masa Depan

Oleh: Masykurin Kurniawan

(Alumni Universitas Swadaya Gunung Jati. Staff Procurement PT Shoetown Ligung Indonesia)

SARJANA merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang ketika telah berhasil menyelesaikan berbagai studinya di bangku perkuliahan pada program Strata 1 atau S1. Menjadi sarjana merupakan keinginan setiap mahasiswa dan orang tua, pastinya. Prosesi seremoninya sangat ditunggu-tunggu. Sebuah hasil dari proses yang sangat panjang dan suatu kebanggaan tersendiri untuk bisa memakai toga dan menyandang gelar sarjana. Dengan gelar sarjana tentunya diharapkan bisa bertanggung jawab atas gelarnya dengan menjadi penopang keluarga, masyarakat dan diharapkan dapat berkontribusi dalam membangun negeri ini.

Indonesia tentunya memiliki banyak sumber daya manusia yang sebagian besar mengeksplor kemampuan untuk terus berkmbang melalui pendidikan dan salah satunya adalah perguruan tinggi yang diharapkan bisa mencetak generasi-gemerasi yang dapat bersaing pada era globalisasi. Tentunya, lulusan-lulusan ini dituntut untuk menjadi lulusan yang berkompeten, kreatif dan ilmu yang dapat diimplementasikan di masyarakat.

Masalahnya, banyaknya penganguran di Indonesia sebagian besar didominasi oleh penganggur terdidik. Banyaknya sarjana yang menganggur disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya lapangan pekerjaan yang sedikit berbanding terbalik dengan jumlah lulusan yang sangat banyak. Tingginya tingkat pendidikan ternyata tidak menjamin mudahnya mendapatkan pekerjaan.

Karakteristik lapangan pekerjaan di Indonesia masih didominasi oleh sektor yang tidak memerlukan kualifikasi pendidikan tinggi. Data Biro Pusat Statistik 2019 menunjukkan tingkat pengangguran lulusan diploma dan universitas masing-masing berada di kisaran 6 hingga 7 persen, jauh di atas tingkat pengangguran lulusan SD (2,7 persen) dan SMP (5 persen). Dengan data penganguran yang semakin meningkat dipengaruhi oleh ketidakmapuan mereka dalam bersaing didunia kerja. Apalagi masih kentalnya budaya nepotisme yang lebih mempersulit mereka yang tidak punya relasi. Bukan hanya itu, sarjana yang terlalu idealis biasanya juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

BACA JUGA:  Polres Cirebon Kota Amankan Ratusan Keping VCD Porno dan Bajakan

Hal itu disebabkan karena mereka telah menanamkan standar-standar baku yang dianggap sempurna untuk status pekerjaannya kelak. Keahlian khusus didunia kerja sangat dibutuhkan karena memegang peranan penting dalam melamar pekerjaan. Misalkan, sarjana pendidikan Bahasa Inggris. Mungkin jika ia juga memiliki keahlian di bidang bahasa asing dan komputer, itu akan membuatnya memiliki nilai lebih di mata HRD perusahaan meskipun background pendidikannya lebih ke arah menjadi guru.

Zona nyaman juga bisa menjadi faktor mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Memang tak ada salahnya sih jika melamar kerja hanya di daerah atau kota domisili. Tapi perlu diingat bahwa lapangan pekerjaan itu semakin langka, kita tidak bisa berharap pekerjaan hanya dari daerah/kota tempat kita tinggal.

Itulah mengapa sebuah gelar tidak menentukan nasib seseorang untuk menjadi apa. Seperti yang dikatakan menteri pendidikan Bapak Nadiem yang mengatakan bahwa pemerintah menargetkan agar para mahasiswa yang lulus bisa bertindak, mencapai kesuksesan dan berkarakter. Selain itu, kata Bapak Nadiem, dunia tengah masuk fase tidak menentu. Ia beralasan, gelar tidak lagi menjamin kompetensi, mahasiswa lulus bisa berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, hingga belajar tidak lagi harus di kelas. Artinya, sebuah pendidikan ataupun gelar hanya jalanĀ atau jembatan untuk mencapai goals. Dengan persaingan yang sangat ketat, tentunya hanya sumber daya manusia yang memiliki skills lah yang dibutuhkan.

Pada era yang serba teknologi tentunya perusahaan memiliki standar-standar yang diterapkan. Kembali bagaimana kita mau untuk mengupgrade diri sebagai seorang sarjana untuk memiliki sesuatu yang bisa dikerjakan. Sebuah skill yang dapat membantu kita tumbuh berkembang. Sarjana hanyalah status, tetapi keyakinan dan kemauan untuk mengubah hidup ke arah yang baik itu jauh lebih baik ketimbang menganggur.

BACA JUGA:  Tokoh Masyarakat Anggap Wajar Jika Cirebon Timur Menuntut Pemekaran

Memang benar jika ada istilah semua bunga akan mekar pada waktunya, tetapi setidaknya kita tanam saja dulu bunganya lalu kita sirami dengan doa-doa sepanjang hari. Sebab berusaha tanpa doa hanyalah kesia-siaan. Penganguran bukanlah sebuah nasib, tetapi sebuah sikap. Tidak ada istiah menganggur bila kita mau untuk berusaha lebih keras, berdoa lebih sering dan beramal lebih banyak. Tentang bagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Sadar akan pengorbanan orang tua yang banting tulang bayar iuran kuliah tiap semester. Kepedulian terhadap diri sendiri akan menyadarkan betapa pentingnya belajar untuk meningkatkan kemampuan dalam bersaing didunia kerja.

Kita tidak bisa memaksa pemerintah untuk menuruti semua kemamuan kita. Untuk itu dari pada menuntut lebih baik untuk terus meningkatkan diri. Seperti mengutip pada Chairil Tanjung, jangan fokus uangnya dulu, nanti kerjanya gak jadi. Kerja dulu yang bagus nanti uangnya akan datang. Intinya jangan membuat standar-standar dalam hidup hanya karena memiliki gelar sarjana. Bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *