Miryam: “Wanita Simpanan” Astrajingga Asmasubrata

Oleh IIS TAULYDA

 Kumpulan sajak Miryam dan bayangan dari yang berlalu karya Astrajingga Asmasubrata, lebih akrab disapa Edoy, adalah sebuah buku yang mampu mengalirkan energi positif sehingga menghangatkan sekaligus memberi kebahagiaan pada Ngopi Rabu Malam #10 Lingkar Jenar di Mubtada Coffee Enthusiast.

Suasana begitu asik masyuk ketika membicarakan proses kreatif Edoy menyusun buku puisi keduanya setelah Ritus Khayali. Penulis buku puisi Manuskrip Sepi, Nissa Rengganis, sebagai pembicara yang berhalangan hadir pada kesempatan itu sudah menuliskan perspektifnya terhadap Miryam dalam catatan berjudul Perihal Rindu, Kenangan, dan Kehilangan yang dimuat kawaca.com pada 12 Mei 2018.

Bagi Nissa, puisi adalah ruang berbagi sekaligus menepi dari segala peristiwa yang kerap datang dan pergi. Edoy ingin memeluk waktu, sebab ia merasa terus dikejar. Bukankah kita tengah hidup dalam dunia di mana batas tak lagi mengenal tapal, rangkaian peristiwa yang berlalu-lalang dapat seketika mengejar lalu tertinggal? Dari Miryam dan Edoy ia percaya, puisi menjadi mesin pengingat dalam gegap gempita ini. Paling tidak pengingat atas perayaan kenangan kita sendiri.

Sementara Sobih Adnan (pengampu Oase medcom.id), pembicara berikutnya yang juga berhalangan hadir sebab buah hatinya mendadak dirawat, menuliskan dalam catatannya yang dimuat alif.id—https://alif.id/read/sobih-adnan/miryam-dan-cara-santri-menulis-puisi-b208945p/, Astrajingga menjadikan puisi-puisinya sebagai catatan ziarah, hobi kebanyakan santri ketika tiba di sebuah titik kota. Secara lafziyah, ziarah merupakan kalimat mashdar dari kata kerja (fiil) bermakna berkunjung. Seyyed Hossein Nasr mengatakan, di Arab Timur, potret-potret lokasi pernah diandalkan banyak menjadi etos etika spiritual puisi-puisi bercorak tasawuf. Selebihnya, nama Miryam dalam buku ini menjelma kata kunci. Ia menjadi satu penghubung atas serial tema dan karakter tertentu, sebuah kepiawaian seorang santri yang mengolah imajinasi.

Terlepas dari itu semua, kesadaran akan pentingnya memelajari puisi dan kehausan akan rasa cintanya pada puisi, membuat Edoy memilih untuk tidak melanjutkan sekolah menengah atasnya dan pergi ke Jakarta, berkelana dengan segala suka duka atas ambisi, kecemasan, dan kegelisahan, serta  kebahagiaan tersendiri dalam berjibaku dengan puisi dan menemui para penyair sebagai bagian dari proses kreatifnya yang berlangsung hingga 5 tahun, bahkan mungkin sampai sekarang, bukti keseriusannya menekuni sastra.

BACA JUGA:  Wajah ‘Perempuan’ Pram dalam Secangkir Teh Rempah

Sampai Edoy kemudian menjadi salah satu penggerak Komunitas Malam Puisi Jakarta. Pernah membaca puisi di ASEAN Literary Festival (2015). Membuat antologi puisi pertamanya berjudul, Ritus Khayali (2016). Turut membantu Jurnal Sastra Lokomoteks (www.lokomoteks.com). Puisi-puisinya termuat di media cetak dan media online juga termuat dalam antologi bersama Nyanyian untuk Ane Matahari (Imaji-Ruang Sastra, 2017), Antologi Puisi Kopi 1550 MDPL (Gayo Institute, 2016), Antologi Puisi Cimanuk (Sail Puisi Cimanuk, Dewan Kesenian Indramayu, 2016), Antologi Puisi Selesat Cahaya Bermekaran (Malam Puisi Depok, 2015), Antologi Puisi Di Bawah Payung Hitam (Seni Indonesia Berkabung, 2015), dan biodatanya termaktub dalam Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi, 2017).

Ritus Khayali, dianalogikan oleh Edoy sebagai rumah tanpa ruangan, berisi puisi campuran dan tidak ada konsep. Sehingga kehadiran Miryam sebagai ruangan dalam rumah tersebut. Miryam dibagi menjadi dua bab menurut penulisnya. Pertama, dari bayangan yang berlalu. Sebagaimana rumah tercipta dari dua ruang yaitu umum (ruang tamu, teras, dapur, kamar mandi) dan pribadi (kamar). Kedua ruang tersebut mempunyai banyak pintu yang artinya puisi-puisi dalam Miryam dan bayangan dari yang berlalu  bisa ditafsirkan dari mana saja dan sebagai apa saja.

Bab kedua yaitu Miryam, di dalamnya berisi sajak-sajak tentang wanita yang menginspirasinya. Semula, Edoy menulis tentang seorang perempuan yang bernasib serupa dengan Marsinah, tetapi stuck dan hanya berhenti menjadi tiga judul puisi. Kemudian inspirasi nama Miryam itu datang dari seorang anak perempuan di kelas menulis yang pernah diampu olehnya. Dibanding nama lain, menurut Edoy, Miryam lebih bisa diterima secara umum. Edoy membicarakan keseharian, hal yang dianggap remeh-temeh, dan peristiwa yang dekat dengan dirinya. Miryam pun bisa dimaknai apa saja, sebagai kekasih, Ibu, Maryam dalam Alquran, hingga Maria dalam Al-Kitab.

BACA JUGA:  Diduga Overdosis Obat Batuk, Seorang Pemuda Ditemukan Tewas

Dalam Ritus Khayali, Edoy berkata lebih banyak membicarakan Ayahnya. Sehingga demi menebus rasa bersalah, ia menciptakan Miryam untuk dipersembahkan kepada Ibunya, Sairoh binti Tasiman Ci Mong bin Dji Ing. Meski begitu, ia menekankan lagi bahwa Miryam dalam setiap sajaknya bisa ditafsirkan sebagai apa dan siapa saja. Ia mengambil hal-hal kecil sebagai sesuatu bernilai, menggunakan bahan yang dekat untuk membicarakan yang jauh. Lebih detail ia menjelaskan bahan menulis puisi adalah kata. “Kata ini sudah tersedia dekat dengan kita,” ujar Edoy yang mengenakan kaus hijau bergambar wajah Chairil Anwar, Rabu, 9 Mei 2018.

Setiap orang mempunyai jiwa penyair, sayangnya banyak juga jiwa penyair yang mati muda. Dan itu terjadi karena kata-kata tidak dituliskan. Puisi bergerak dalam pikiran dan dijadikan sebagai upaya untuk mengabadikan yang fana. Dan, karya yang bagus menurutnya adalah karya yang bisa membuat pembaca bertengkar dengan dirinya sendiri.

Seperti dikatakan Maman S. Mahayana, puisi ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dicantelkan kemana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya.  Dipihak lain, teks puisi bisa mengerut serta menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan (Kitab Kritik Sastra, 2015: 26).

Menilik prolog yang diberikan oleh Hasan Aspahani, kumpulan sajak Edoy adalah gabungan dari aroma tubuhnya sendiri serta minyak wangi dari para kyai sastra.

“Ibarat santri, penyair kita sowan ke kyai-kyai besar, memeluk dan cium tangan. Ada wangi yang melekat dan penyair kita ini membiarkan kita ikut menikmati aroma itu. Aroma Kirdjomuljo, Ramadhan KH, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan tentu itu tak menghilangkan aroma tubuhnya sendiri yang saya tahu itu bukan olesan parfum. Dalam pertemuannya dengan para kyai itu, penyair kita khusyuk mengaji. Ia mencatat dan mencoba menyusun pelajaran dengan bahasanya sendiri. Ia kini bisa melihat jauh lebih banyak, apa yang mungkin dulu tak ia perhatikan” (hlm. v).

BACA JUGA:  Sebelum Kamu Menikah

Sedangkan menurut penyair sekaliber Joko Pinurbo yang memberikan epilog untuk Miryam mengatakan, puisi memang bukan sekadar untaian kata-kata nan elok di atas kertas. Apa lagi, seperti dikatakan dalam salah satu frasa sajak Toto Sudarto Bachtiar, ‘kata tak cukup buat berkata’. Puisi adalah jejak-jejak perjalanan dan pergulatan batin yang mengasyikan dan menggairahkan justru karena diliputi ketidakpastian. Sajak-sajak Astrajingga tentulah merupakan bagian yang menyatu dengan perjalanan dan pergulatan batinnya yang sarat dengan penghayatan dan tanggapan atas berbagai peristiwa dan pengalaman hidup (hlm. 106).

Menjadi seorang penyair pasti bukanlah hal yang mudah dan tentu tidak instan. Seperti yang sudah dibahas, Edoy telah menempuh proses sekitar lima tahun untuk mendalami dunia puisi yang kini telah menjadi jiwanya. Dalam perjalanan kepenyairannya, Edoy banyak menemukan hal-hal baru baik dari suatu tempat, kerinduannya pada beberapa orang, karya-karya penyair, maupun dari hasil dialektika dengan penyair yang ia temui. Dalam bab inilah semua peristiwa yang terjadi dalam proses perjalanan kepenyairannya dituangkan ke dalam sajak-sajak bayangan dari yang berlalu. Dalam bab ini kita seperti dibawa untuk ikut menelusuri apa yang telah berlalu dari perjalanan penyair, baik peristiwa maupun kenangannya.***

*) Penulis adalah pegiat sastra Lingkar Jenar pecinta kopi Mubtada.

Komentar