Oleh IIS TAULYDA*
AROMA Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer—Pramoedya Ananta Toer, menyeruak ketika secangkir teh rempah tersaji di atas meja Mubtada Coffee Enthusiast. Begitu dua batang lilin dinyalakan, Umar Alwi segera membuka diskusi Lingkar Jenar Ngopi Sabtu Malam #3 dan memaparkan kisah memilukan perempuan-perempuan di Pulau Buru.
Ruwet, tapi menarik. Novel Pram ini merupakan catatan kelam remaja Indonesia yang dijadikan budak seks oleh tentara Jepang ketika Perang Dunia II berkecamuk. Pada 1943, serangan besar-besaran pihak Sekutu di Asia Tenggara membuat posisi Jepang bergerak ke Indonesia. Untuk mendapatkan bantuan dari negara jajahannya, Jepang mulai membuat propaganda, seperti melatih orang Indonesia melalui organisasi PETA (Pembela Tanah Air). Orang-orang Indonesia pada saat itu mendapat pelatihan militer untuk dijadikan perwira yang bertugas mempertahankan Tanah Air Indonesia dari serangan Sekutu.
Propaganda selanjutnya, tentara Jepang membuat perjanjian dengan para perempuan remaja Indonesia untuk menyekolahkan mereka ke Tokyo dan Shonanto (Singapura) sebagai bidan atau juru rawat. Jepang mengatakan bahwa perempuan-perempuan itu dipersiapkan untuk mengabdikan diri dalam kemerdekaan nanti. Ya, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia sehingga memberikan kesan seolah negara ini memiliki saudara yang baik hati serta berjiwa pahlawan. Melalui cara-cara itu, Jepang mendoktrin rakyat Indonesia untuk ikut serta memusuhi Sekutu.
Namun, itu hanya akal-akalan Jepang saja. Sebab, Jepang sendiri sedang pontang-panting mengirim tentaranya ke garis depan menghadapi Sekutu. Karena mengalami kesulitan akses untuk hubungan laut dan udara, militer Jepang tak bisa mendatangkan wanita penghibur dari negaranya sendiri, atau Cina dan Korea. Akhirnya, para perempuan remaja Indonesia itulah yang menjadi gantinya. “Sekitar 200.000 perempuan remaja Indonesia dibawa untuk dijadikan budak seks oleh tentara Jepang dengan iming-iming sekolah. Karya ini sangat menarik karena dipaparkan melalui novel yang bukan hanya berisi cerita panjang tetapi juga terdapat bukti dan hasil wawancara penulis dengan beberapa korban,” ujar Umar Alwi, Sabtu (17/03).
Lalu, bagaimana nasib para perempuan tersebut pascaproklamasi kemerdekaan RI? Pada 1945 setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, para perempuan remaja itu dilepaskan tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa fasilitas, dari pihak Jepang. Sebagai tindakan cuci tangan terhadap kejahatannya, mereka diserahkan pada naluri hidup masing-masing dan tidak mendapat pelayanan serta perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia. Akibatnya, mereka menjadi perempuan buangan yang dilupakan.
Untuk menebus kesalahan masa lalu itu, Jepang mendirikan Asia Women Found pada 1996. Namun, Jepang tetap beralasan bahwa korban bekerja secara sukarela bukan diperbudak. Merujuk Konvensi Jenewa 1949 Statuta Roma 1999, para aktivis dari korban tersebut menyatakan bahwa perbuatan militer Jepang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga dapat diajukan ke Mahkamah Pidana Internasional. Pada 8-12 Desember 2000, para aktivis menyelenggarakan pengadilan di Tokyo dan keputusannya diumumkan di Den Haag pada 8 Maret 2001.
“Tulisan Pram menjadi sorotan sebab ia melakukan hal yang orang lain belum melakukannya pada waktu itu. Melalui novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer dan rasa empatinya, Pram mengembuskan napas kemanusiaan dalam bingkai perempuan sebagai korban militer Jepang tersebut. Di sisi lain, rupanya hal ini dianggap sebagai aib bangsa. Sebab, isu human right memang sedang hangat dibicarakan oleh dunia dan pemerintah Orde Lama tidak menginginkan cerita ini sampai terdengar negara lain apalagi saat itu Soekarno baru saja memutuskan untuk keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa,” ujar Edeng Syamsul Ma’arif.
Bagaimanapun, perempuan harus mendapat hak perlindungan dari negaranya. Jika dikaitkan dengan fakta hari ini, kekerasan dan perbudakan seks terhadap perempuan Indonesia tidak hanya terjadi ketika zaman militer Jepang. Dari data Komnas Perempuan selama 12 tahun (2001-2012), justru mencengangkan.
Tidak kurang dari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, 2.920 kasus di antaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan 1.620 kasus. Sedangkan pada 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun. Pada 2014 juga tercatat 5.785 kasus, tahun 2015 sebanyak 6.499 kasus, tahun 2016 terdapat 5.785 (15 Bentuk Kekerasan Seksual, Sebuah Pengenalan, Komnas Perempuan).
Sedangkan dalam catatan Komnas Perempuan tahun 2017, terdapat data perkosaan dalam perkawinan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/RP adalah pacar sebanyak 2.017 orang. Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus. Diikuti kekerasan fisik 490 kasus, kekerasan lain yaitu kekerasan psikis 83 kasus, buruh migran 90 kasus, dan traficking 139 kasus.
Rupanya, persoalan itu bukan secangkir dua cangkir yang sekadar berakhir menjadi pengetahuan. Permasalahan bangsa tersebut masih menyisakan luka dan nestapa bagi para penyintas, sebab kasus traficking, perbudakan perempuan, dan kekerasan seksual masih saja berlangsung hingga kini. Seperti menyisakan ampas rempah tanpa air. Teh telah habis diteguk bersamaan dengan padamnya lilin dan padamnya rasa kemanusiaan pada sebagian orang.***
*) Penulis adalah pegiat sastra Lingkar Jenar dan pecinta Kopi Mubtada.
Komentar