Citrust.id – Bagi penyair Nissa Rengganis, pembicaraan ihwal sastra dan perempuan bukanlah hal baru, bahkan bisa jadi sudah dianggap klise. Tapi, setidaknya persoalan ini masih terus asik diperbincangkan untuk melihat sejauh mana kedudukan dan peran penulis perempuan dalam sastra Indonesia.
Perempuan dalam pergulatan sastra Indonesia, ia bedakan dalam dua hal: perempuan sebagai penulis, dan perempuan sebagai tema dalam diskusi Ngopi Rabu Malam Lingkar Jenar #22 bertajuk Membaca Perempuan Penulis Sastra, Rabu (14/11/2018) di Saung Perjuangan, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon.
“Sejauh ini, sastra tentu saja telah mengalami sejarah metamorfosis yang panjang. Tidak ajeg. Tidak berada dalam sebuah never ending process of becoming. Ia akan terus berkejaran dengan kondisi sosial yang mengikutinya,” ujarnya didampingi presenter Edeng Syamsul Ma’arif.
Lebih lanjut, Nissa menyayangkan pelabelan miring tentang penulis sastra perempuan yang identik dengan tema eksploitasi sensualitas dan seksualitas. Sampai kemudian dilegitimasi dengan sebutan sastra wangi.
“Era 1930-an tema-tema perempuan masih sedikit. Sastra wangi identik dengan kemunculan Saman, Ayu Utami. Kita perempuan harus tersinggung dengan cara kritikus-kritikus tua melakukan legitimasi terhadap karya perempuan berdasarkan jenis kelamin, kecantikan, dan tubuh seksi. Parameter ini justru menghancurkan identitas perempuan sebagai manusia yang sama-sama memiliki pikiran. Betapa patriarkinya dunia sastra kita,” ungkap Nissa.
Ada semacam babak baru, lanjut Nissa, terutama dalam kegairahan sastra di era pasca-reformasi. Sebuah zaman yang melahirkan fase perubahan sosial, politik, dan kultural yang menjadi tanda munculnya isu demokratisasi serta keterbukaan ruang sosial, politik, serta kebudayaan. Tak ayal situasi ini turut berpengaruh pada perkembangan sastra di Indonesia.
Jika sebelumnya, sastra berada pada situasi yang represif dan segala gagasan yang berseberangan akan dianggap subversif, kini, beranjak pada fenomena sastra yang lebih vulgar, terus terang, tidak basa-basi, lebih berani, bahkan blak-blakan mendobrak hal yang sebelumnya dianggap ‘tabu’ di masyarakat.
“Tema-tema sensualitas banyak dimunculkan meski belakangan terlihat banal. Bagaimana perempuan selalu saja terpinggirkan dan menjadi second sex. Padahal, masih banyak isu-isu menarik yang bisa diangkat selain eksploitasi tubuh. Human trafficking, kekerasan yang selalu dialami perempuan, KDRT, dan masih banyak lagi,” paparnya.
Diskusi yang dibuka dengan pembacaan puisi oleh Iis Taulyda dilanjutkan dengan musikalisasi puisi oleh Gilang and Friends dan HIMABI IAIN Syekh Nurjati, di sela-selanya juga ada perform musik SKA oleh Abubakar “SLB”, solo vokal Just Belda, dan dipungkasi dengan live lukis sketsa oleh Indra Suptiana diiringi gitar Dedi Junaedi./uyung
Komentar