-Dok Tropen Museum
SERANGAN tentara Jepang di Kalijati Subang 1 Maret 1942.
Oleh: Nurdin M Noer*
PADA tanggal 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer (Leger-Commandant) Ter Poorten atas nama Pemerintah Hindia Belanda menandatangani kapitulasi di Kalijati (Subang) yang menyatakan tanpa syarat kepada tentara Jepang. KNIL dibubarkan dan semua perlawanan dihentikan tanpa suatu pertempuran sengit. Padahal pada mulanya mereka mengumandangkan semboyan “lebih baik mati daripada hidup bertekuk lutut”. Pihak Jepang sendiri semula menduga akan memerlukan waktu dua sampai tiga bulan untuk menaklukan Hindia Belanda, mengingat wilayah itu dipertahankan oleh divisi KNIL ditambah kesatuan-kesatuan Sekutu lainnya (Udin Koswara 2000 : 39).
Berbagai aturan mereka keluarkan, di antaranya Osamu Seirei nomor 27 tahun 1942 yang mengatur susunan pemerintah daerah dan Osamu Seirei nomor 28 tahun 1942 yang menetapkan peraturan pemerintahan Karesidenan atau Shyu. Kota Cirebon pun mengalami Osamu Seirei nomor 12 dan 13 tahun 1943 yang menjelmakan eenhoofdig Bestuur, dalam daerah kota dengan kekuasaan membuat undang-undang, yaitu Shirei (Sjafi-ie).
Di luar pemerintahan, di daerah Cirebon perebutan kekuasaan dari tangan Jepang berlangsung dengan tenteram, hanya di sana-sini akibat keganasan pemerinthannya, mengalir darah orang-orang Jepang. Antara lain terjadi penghadangan serta pembunuhan terhadap komandan kesatuan Jepang dari daerah Cirebon yang bermarkas di Kedungbunder beserta beberapa orang perwiranya yang sedang menaiki mobil di desa Weru jurusan Cirebon–Palimanan. Penghadangan dan pembunuhan itu dilakukan rakyat dengan bambu runcing, golok dan batu. Senjata Jepang jatuh di tangan rakyat. Pula terjadi penghadangan serta pembunuhan atas wakil kempetaico Cirebon beserta beberapa anggotanya di daerah Bbabakan Sindanglaut oleh rakyat dengan bamboo runcing dan golok. Senjata mereka direbut oleh rakyat pula. Kemudian terjadi pembunuhan terhadap bangsa Belanda, yang sedianya akan diangkut untuk dilindungi oleh alat-alat pemerintah Kuningan. Peristiwa yang ngeri ini dilakukan mereka di kamp penjara Kuningan (A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia bagian 1 (Disyarah-AD, Angkasa Bandung, 1977).
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.