oleh

Mengapa Sejarah dan Unsur Fiksi Kerap Berdampingan?

Cirebontrust.com – Berbicara mengenai sejarah, histori, atau asal usul suatu daerah misalnya, kerap kali diungkapkan oleh orang tua kepada generasi selanjutnya dalam bentuk lisan dengan cara penggambaran yang mengandung fiksi (rekaan).

Contohnya, sejarah mengenai sesepuh Cirebon, Sunan Gunung Jati, yang diwariskan secara turun-temurun bahwa dirinya memiliki kekuatan sakti mandraguna.

Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Husein, salah satu peserta Diskusi Publik membincangkan sejarah dan sastra di halaman Gedung Kesenian Nyimas Rarasantang Kota Cirebon, Senin (16/10).

Menanggapi hal itu, menurut Filolog Raffan S Hasyim sebagai pembicara berdampingan dengan pengamat budaya Dadang Kusnandar, mengungkapkan, sejarah tidak lepas dari pengetahuan dan kebiasaan individu pada zamannya.

“Seperti adanya sejarah tidak bisa lepas dari keberadaan kisah raja-raja sakti. Juga misalnya, cerita-cerita orang zaman dahulu mengisahkan Sunan Gunungjati ketika mengadakan pertemuan di Gunung Ciremai, cukup menunggang angin atau mengucap bismillah maka dia sampai seketika. Jika dipikir-pikir, mengapa bisa begitu? Itu dianggap tidak masuk akal. Tetapi orang zaman dahulu meyakininya atau mungkin sampai hari ini,” papar Raffan.

Raffan mengatakan, folklor atau cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun tetapi tidak dibukukan itu menjadi khazanah budaya masyarakat itu sendiri. Sejarah yang mengungkapkan seseorang mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam seperti itu dekat dengan fiksi.

“Apa yang dipikirkan orang zaman dahulu tentu tidak sama dengan orang zaman sekarang. Kalau kita boleh menyebut, orang dahulu kok bisa ya sakti-sakti begitu? Kita yang hidup di zaman sekarang kalau bertanya kepada mereka, dunia seluas apa? Karena saking saktinya, mereka bisa saja menyebut bahwa dunia ini hanya sebatas kotoran kuku,” kelakarnya.

Jika sejarah semacam itu ingin dibuktikan, maka harus ada penelitian mendalam dan memang harus dibantu dengan ilmu lain seperti melakukan kajian arkeologi, lanjut Raffan, sehingga sejarah itu bisa disebut benar adanya dan terbukti secara ilmiah.

“Misal, meneliti batu atau artefak, maka ahli geologi harus mengkajinya terlebih dahulu untuk membuktikan bahwa batu tersebut memang benar berusia ratusan tahun,” pungkasnya. (Uyung)

Komentar