Ilustrasi
Majalengkatrust.com – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M. Ap, mengemukakan gagasan untuk memberlakukan kebijakan lima hari sekolah yang akan diterapkan mulai Tahun Ajaran 2017–2018.
Setelah gagasan tentang Full Day School ditolak oleh Presiden Republik Indonesia, Mendikbud mengeluarkan gagasan pemberlakuan kebijakan 5 hari sekolah yang notabene mempunyai konsep yang sama dengan Full Day School.
Salah Satu Badan Otonom NU yakni Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kabupaten Majalengka menolak diberlakukannya gagasan 5 hari sekolah, dan Meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI menarik kembali pernyataannya, karena pernyataan Mendikbud yang tanpa merujuk pada peraturan perundang-undangan tak patut diucapkan oleh pejabat negara dan telah menyulut gejolak sosial.
Menurut Iyan Gunawan Ketua PC IPNU Kabupaten Majalengka, Senin (12/06), ada tiga hal dipandang dan perlu diperhatikan Kemenetrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pertama, lanjut Iyan Gunawan, rencana menerapkan sekolah 5 hari terkesan menyederhanakan permasalahan dan tidak memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dalam membangun karakter siswa melalui Pendidikan, mestinya nilai-nilai pendidikan karakter yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran dan sistem pengajaran yang lebih efektif yang lebih ditekankan, daripada menambah jam belajar dalam sehari yang akan mengurangi interaksi siswa dengan keluarga ataupun dengan masyarakat.
Kedua, dengan mengeluarkan gagasan tanpa disertai kajian dan evaluasi yang komprehensif, Mendikbud dirasa berbuat tidak adil dan membangun opini publik bahwa sistem Pendidikan formallah sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggungjawab dalam mendidik masyarakat.
Di sisi lain ada lembaga Pendidikan non-formal seperti madrasah diniyah dan pesantren yang sebelum kemerdekaan Indonesia sudah turut serta mendidik masyarakat secara langsung.
Ketiga, Kondisi infrastruktur dan fasilitas sekolah belum seluruhnya memadai untuk menunjang aktivitas siswa selama 8 jam di sekolah.
Sesuai dengan Intruksi dari Pimpinan Pusat IPNU, bahwa kami menuntut pemerintah memberlakukan otonomi sekolah secara lebih maksimal dan mempermudah birokrasi sekolah sehingga pendidik lebih fokus pada proses Pendidikan.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Majalengka Aris Prayuda, S.Pd menilai kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, berpeluang melanggar sejumlah undang-undang.
“Kebijakan baru itu berpeluang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,” katanya Senin (12/6).
Aris Prayuda mengatakan kebijakan baru tersebut berpeluang bertentangan dengan Pasal 51 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan.
“Dengan Pasal tersebut, maka satuan pendidikan memiliki kemandirian untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah,” tuturnya.
Kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 35 Undang-Undang Guru dan Dosen. Ayat (1) Pasal tersebut berbunyi “Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan”.
Sedangkan Ayat (2) berbunyi “Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu”.
“Dengan kebijakan baru lima hari delapan jam belajar di sekolah, guru berpeluang besar mengajar melampaui jumlah jam mengajar di sekolah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut,” katanya.
Karena itu, LPA Majalengka meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Aris, membangun sistem pendidikan harus menyeluruh. Pendidikan harus memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah dan peran keluarga dalam pengasuhan atau pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta keterlibatan masyarakat.
“Anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kekurangan jam belajar di sekolah. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dan memastikan keterlibatan lingkungan sosial,” katanya. (Abduh)