Oleh SUTEJO IBNU PAKAR*
MAHABBAH dan ma’rifah merupakan kembar dua. Keduanya melukiskan betapa dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Mahabbah melukiskan keakraban dalam bentuk cinta, sedangkan ma’rifah melukiskan keakraban dalam bentuk musyâhadah (melihat Tuhan) dengan hati sanubari.
Tahapan puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai ma’rifah dan mahabbah. Ma’rifah dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan dasar terhadap Tuhannya. Hal ini dijelaskan oleh nabi di dalam haditsnya: Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya.
Kesempurnaan ma’rifah ialah dengan mengetahui asmâ’ Allah, tajalli Allah, taklif Allah terhadap hamba-Nya, kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta, mengetahui diri sendiri, alam akhirat, sebab, dan obat penyakit batin. Menurut al-Ghazali, tingkat ma’rifah tertinggi yang harus dicapai seorang sufi adalah memandang Allah secara langsung dengan mata hati yang telah bebas dan bersih dari segala noda dan godaan duniawi. Akan tetapi, kesempurnan seorang sufi belum tercapai dengan pengasingan diri dari segala kesibukan hidup kemasyarakatan (‘uzlah), dan berdzikir mengingat Allah. Bahkan ketika terlibat dalam arus kehidupan dunia nyata ini memancarkan asmâ’ Allah yang Mulia melalui amal perbuatan nyata, sehingga keesaan Allah Yang Mutlak dapat dipandang sebagai keanekaragaman yang memenuhi alam kehidupan yang dipandang dalam keesaan Mutlak.
Rabi’ah al-‘Adawiah adalah pelopor yang memperkenalkan cita ajaran tasawuf yakni ajaran tentang terbukanya tabir penyekat alam gaib, sehingga sang sufi bisa mengalami menyaksikan (musyâhadah) dan berhubungan langsung dengan dunia gaib dan Dzat Allah. Ia menjadikan musyâhadah sebagai tujuan utama tasawuf, yakni menghayati alam gaib dan bertatap langsung dengan wajah Allah melalui pengalaman kejiwaan sewaktu dalam keadaan fanâ` fi Allâh. Dia menggariskan tujuan utama para sufi, yakni menghayati ma’rifah langsung bertatap muka dengan Allah, atau bahkan bila mungkin bersatu dengan-Nya. Rabi’ah berusaha memalingkan secara drastis tujuan hidup umat Islam. Ibadah tidak lagi didasarkan pada motif atau perasaan takut akan siksa neraka dan mengharapkan pahala atau surga. Tetapi, untuk ma’rifah dan melihat keindahan wajah Allah secara langsung bertatap muka alias musyâhadah. []