Citrust.id – Melalui tulisan yang berjudul “Megawati, Tertawa dan Menangis Bersama Rakyat”, Drs. Yoseph Umar Hadi, M.Si., MA menceritakan kesaksian dan pengalamannya mengenai proses Megawati Soekarno Putri menjadi Ketua Umum PDI, menggantikan Soerjadi.
Tulisan panjang yang akan menjadi Selayang Pandang Buku, “Menegakkan Demokrasi Pancasila: Megawati dan Perjuangan Rakyat dalam Reformasi Indonesia,” yang disusun oleh Yoseph Umar Hadi dan Rahadi Zakaria, SIP, MH., mengungkap kesaksian sejumlah orang terkait detik-detik Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI.
Bermula dari diskusi atau perbincangan seputar kondisi negara pada zaman Orde Baru 1965-1993. Saat itu, suasana politik benar-benar tidak demokratis.
Dalam tulisan tersebut, Yoseph menyebutkan, negara hanya dikuasai oleh segelintir orang yaitu Kelompok Cendana, Golkar, Birokrasi. ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara, sebagian besar elit dan pimpinan teras menjadi alat kekuasaan untuk menakut-nakuti rakyat.
“Sehingga rezim ini mampu bertahan selama 33 tahun. Rakyat tidak merdeka dan rakyat dijadikan obyek politik dan tidak berdaulat,” tulisnya.
“Proses De Soekarnoisasi masif sekali. Keluarga Soekarno dikucilkan dan tidak ada satu orang pun yang mau dan berani mendekati keluarga Soekarno, termasuk mendekati Taufiek Kiemas. Teman-teman Taufiek Kiemas yang setia dan berani menemani hanya Wartawan dan teman-teman lama waktu kecil: Pak Maulana, pak Atok, pak Ajis Saib, Dsb.”
Dalam tulisan tersebut, Yoseph bercerita dirinya berkenalan dengan Taufiek Kiemas dan Megawati pada 1989/1990, saat dirinya menjadi wartawan Persda Kompas yang ditugaskan di DPR Senayan.
“Megawati menjadi anggota PDI tahun 1986, sedangkan Bapak saya tidak tahu persis (barangkali sama tahunnya), karena diminta oleh Pak Soerjadi untuk bergabung menjadi anggota PDI. Memang benar ketika Bu Megawati menjadi Anggota PDI, beliau bekerja keras kampanye di seluruh Jawa dan luar Jawa, saya mendampingi beliau untuk kampanye keliling Indonesia. Dari situlah akhirnya saya berkenalan dengan Keluarga Soekarno,” tulis Yoseph.
Profesi wartawan, membuat Yoseph kerap berhubungan dengan banyak orang, salah satunya adalah Taufiek Kiemas.
Ia juga mengaku sering berdialog dengan Soerjadi sebagai wakil Ketua DPR saat itu. “Saya tahu situasi politik yang otoriter dan menekan ini. Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI (1982-1987, 1987-1992) berupaya untuk menaikkan suara PDI, makanya merekrut Keluarga Soekarno (Mega, Guruh, dan Taufiek). Memang kemudian nanti kursi PDI meningkat pesat dari 30 kursi menjadi 56 kursi berkat Megawati.”
Karena suara PDI meningkat dan Soerjadi mengusulkan pembatasan masa jabatan Presiden hanya dua kali, membuat Soeharto marah besar, ditambah lagi dengan seringnya Soerjadi mempersoalkan monopoli ekonomi Keluarga Cendana.
“Disinilah kemudian Pemerintah ingin menjatuhkan Soerjadi pada Konggres PDI 1993 bulan Juni di Medan,” terang Yoseph.
Rencana itu benar terjadi. Soerjadi dilengserkan meski mendapat dukungan utusan Konggres, tetapi digagalkan oleh Kelompok Aleks Asmasubrata (yang notabene suruhan dari pemerintah) dan kelompok 17 di bawah komando Jacob Nua Wea.
Karena Konggres PDI di Medan Juni 1993 gagal, pemerintah membentuk ‘caretaker’. Caretaker ini dipimpin oleh Latief Pujosakti dan Budi Hardjono, Soetardjo Soerjohoeritno dan Ismunandar. Caretaker bertugas untuk menyelesaikan kemelut PDI untuk memilih pimpinan PDI yang rencananya diselenggarakan Konggres Luar Biasa (KLB) di Surabaya 1-5 Desember 1993.
“Nah, saat ini lah peran saya mulai bergerak. Jalan dialog dan perbincangan atau diskusi bersama Taufiek Kiemas di SPBU Benhil, di Lapangan Ros Tebet dan juga di Kebagusan IV no 45, dan di Kantor dan bersama sejumlah wartawan termasuk saya sendiri, Nuah Torong, Rahadi Zakaria, Suparlan SH, Andoes Simbolon, Mangara Siahaan, akhirnya memunculkan pemikiran untuk mencalonkan Megawati menjadi Calon Ketua PDI di KLB PDI Surabaya awal Desember 1993,” cerita Yoseph.
Diketahui, Megawati dulu masih sering menggunakan nama Megawati Taufiek Kiemas. Atas saran wartawan almarhum Soelistiyo (wartawan Wawasan yogyakarta), disarankan agar dikembalikan menjadi Megawati Seokarnoputri untuk simbol perjuangan.
Ketika Tim Wartawan dan Taufiek mengajukan Megawati untuk menjadi calon Ketua Umum PDI, Mega masih belum bersedia. Kemudian tim tersebut memunculkan Ide untuk membuat “somasi” atau semacam pernyataan kebulatan Tekad dari 70 DPC PDI se-Indonesia. Berkumpul di kediaman Mega di Cempaka Putih Jakarta Pusat, maka disusunlah Pernyataan tersebut dan kemudian diserahkan kepada Megawati.
“Puji Tuhan, akhirnya beliau menyatakan kesediaannya siap dicalonkan sebagai Ketua Umum PDI untuk bertarung di KLB PDI di Surabaya 1-5 Desember 1993. Atas dasar kesediaannya karena keinginan rakyat PDI (arus bawah), maka Ibu Megawati bersedia dicalonkan.”
“Bagi saya ini berita besar, maka saya tulis berita ini
dan saya sebarkan di seluruh media, termasuk harian Kompas ditulis oleh Wartawan senior Agus Hermawan (ush) di halaman satu,” ujar Yoseph.
Di buku tersebut diceritakan, untuk mensukseskan Megawati menjadi Ketua Umum PDI di KLB Surabaya 1993, dibentuk Tim Sukses beranggotakan Panda Nababan (Ketua), Prof Dr Dimyati Hartono SH (penasehat), Taufiek Kiemas, Eros Jarot, Sidi Mursalin Singadekene, Dr Syafei Ali Gumay (keduanya Sekretatis), Yoseph Umarhadi (press officer), Ricardo Hutauruk, Nuah Torong, Rahadi Zakaria, Suparlan, Mangara Siahaan. Tim Sukses KLB ini diberi nama Tim QQ.
Tim QQ yang dipimpin Panda Nababan tersebut hampir setiap hari Rapat di Kebagusan IV nomor 45, yang tak lain merupakan kediaman Megawati. Agar sukses menjadi KU PDI, maka Mega harus menjadi utusan Kongres. Untuk menjadi utusan Kongres Ibu megawati terkendala oleh domisili, karena di KTP-nya masih berdomisili Jakarta Pusat. Padahal beliau ingin maju dari Jakarta Selatan (Tebet).
Maka tim sukses menugaskan Setiabudi karyawan SPBU di Bendungan Hilir (Benhil0 Jakarta Pusat untuk mengurus Surat Keterangan Pindah dari Jakpu ke-Jaksel. Akhirnya beliau bisa ikut Rakercabsus dan terpilih bersama Ketua DPC PDI Jaksel, yaitu Ratna Purnami sebagai utusan Kongres KLB PDI di Surabaya Wisma Haji Sukolilo.
Terpilihnya Megawati sebagai utusan Kongres tidak serta merta memudahkan diirnya masuk ke arena KLB Surabaya. Tim sukses bersama Mega menuju Surabaya dan transit di rumah Ki Gendeng Pamungkas.
Sebagai utusan Kongres Mega dicekal oleh Aleks Asmasubrata, karena memang diperintahkan oleh bosnya (Cendana atau Cilangkap?) agar Megawati jangan sampai bisa masuk ke Asrama Haji tempat KLB.
Aleks Asmasubrata sebagai Ketua DPD PDI saat itu tidak mau menandatangani Surat Utusan Kongres tersebut. “Setahu saya berkat usaha Eros Jarot menghubungi Keluarga Cendana, lalu meminta agar Aleks bisa menemui Ibu Megawati dengan syarat dapat mengakomodir keluarganya. Akhirnya mereka bicara empat mata di Hotel Mirama atau Elmy Surabaya jalan Diponegoro. Yang mencarikan ruangan hotel saya dan Rahadi Zakaria,” tulis Yoseph dalam buku “Menegakkan Demokrasi Pancasila”.
Akhirnya ada semacam kesepakatan atar mereka, Aleks Asmasubrata dan Eros Jarot. Megawati pun akhirnya mengantongi izin dan bisa masuk ke KLB Surabaya.
“Saya bersama Pak Sidi Mursalin Singadekene menghantarkan Megawati masuk ke asrama haji sukolilo di lantai 2, namanya Kamar Alcatras,” kata Yoseph.
“Memasuki hari pertama, KLB dimulai dan dibuka oleh Mendagri Rudini. Sidang paripurna pertama dipimpin oleh Edwin Sunawar Soekawati. Saya menyaksikan karena saya memperoleh Id Wartawan untuk meliput KLB ini, sambil bertindak sebagai penghubung antara Posko I di situ ada Taufiek Kiemas, Dimyati Hartono, Ir Sutjipto dengan Megawati yang berada di dalam Asrama,” imbuh Yoseph.
Ketika Sidang Paripurna I dibuka, wakil wakil utusan menyampaikan pandangan umum. Hampir semua Wakil utusan menghendaki agar Megawati langsung dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI, tetapi tidak ditanggapi pimpinan sidang Edwin Soenawar Soekowati. Akhirnya timbul kegaduhan dan rapat diskors.
Sejak skors sampai penutupan KLB tidak pernah lagi ada rapat. Para peserta utusan menjadi resah dan ingin pulang ke kota masing- masing. Melihat kondisi ini, saya berinisiatif untuk menenangkan suasana agar para peserta tidak kabur dan tidak pulang.
Maka saya mencoba naik ke ruang studio dan mengambil microphone sentral untuk mengumumkan demikian:
“Saudara-saudara peserta saya diperintahkan oleh Megawati agar para peserta tetap tinggal di ruang masing-masing, jangan ada yang keluar kamar sampai ada perintah lebih lanjut. Sebab jika sidang Paripurna dimulai, maka pendukung Megawati harus ada di dalam rapat.”
Ketika saya mengumumkan melalui Mikrofon, diketahui oleh intel dan panitia.
“Sejak saat itu beberapa orang mencoba menangkap saya. Akhirnya saya bersembunyi, di kolong tempat tidur di samping kamar Ibu Megawati atas arahan beliau, demi keselamatan jiwa saya,” terang Yoseph.
Ketika penyelenggaraan KLB sudah tutup, Kapolresta Surabaya Bimantata memngumumkan agar para peserta bersiap-siap untuk meninggalkan tempat.
Tepat pukul 24.00 WIB malam sebelum ditutup, seluruh pendukung Megawati diminta berkumpul di halaman. Kemudian Ibu Megawati turun dan menyampaikan pernyataan bahwa dirinya adalah Ketua Umum PDI De Facto.
“Lalu Ibu berpesan agar besok hari pulang dengan tertib dan jangan membuat kerusuhan.”
“Ceritera dan sejarah masih Panjang. Sebab perjuangan masih panjang dari Ketua Umum Defacto sampai DeJure, masih banyak perjuangannya. Penetapan Megawati dari de facto ke de jure disahkan di Munas akhir yang digelar pada Desember 1993 di Kemang, Jaksel.” []