BEM Unma Kritisi RUU KUHP dan UU KPK

Citrust.id – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Majalengka mengajukan tuntutan terhadap pemerintah dan DPR terkait RUU KUHP, Pertanahan dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua BEM Universitas Majalengka Moch.Sholehudin mengatakan,mencermati eskalasi politik terkini dan isu miring yang menerpa dan diberitakan oleh media lokal yang menyebut mahasiswa telah hilang nalar kritisnya sangat tendensius.

“Tuduhan itu sangat berlebihan,karena sikap kritis mahasiswa tidak selau harus disampaikan dengan turun ke jalan,”katanya, Senin (30/9/2019).

Menurut mahasiswa Fisip ini, Pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk menunda pengesahan RUU kontroversial tersebut, sehingga menurut BEM pandangan sudah tidak relevan lagi untuk turun ke jalan, dalam konteks ini memberikan kesempatan pada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki RUU yang telah ditunda.” Adapun UU KPK yang terlanjur disahkan mari kita dorong seluruh civitas akademika UNMA terlibat dalam Judricial Review/ Legislatif review di Mahkamah Konstitusi,”ucapnya.

Badan Eksekutif Mahasiswa UNMA ,kata dia, berpendapat bahwa ada beberapa hal yang memang perlu dikritisi dalam rancangan undang-undang,baik RUU KUHP pidana dan RUU Pertanahan yang ditunda pengesahannya, serta UU KPK yang telah disahkan.

RUU Pertanahan sangat krusial untuk di kritisi mengingat urgensinya tanah merupakan sumber kehidupan yang terbatas dan syarat kepentingan hal ini terkait dengan penguasaan dan kepemilikan tanah selain itu juga sebagai sarana yang efektif dalam menyeselesaikan konflik pertanahan, sebagi sistem hukum dan administrasi yang komprehensif, mengatur tata guna tanah dan ruang diatas manapun dibawah tanah.

“Dalam hal ini ada 4 isu strategis dalam RUU Pertanahan yang kami soroti yakni, Pendaftaran tanah.Pendaftaran dan pendataan tanah bukan hanya dipersepsikan sebagai legal administrasi belaka jauh dari pada itu harus dijadikan alat oleh pemerintah untuk memetakan kepemilikan tanah sehingga diketahui ketimpangan atas penguasaan tanah dan dapat dijadikan sebagai dasar reforma agrarian,”katanya.

Kemudian lanjutnya,Hak atas tanah.Dalam RUU pertanahan masih membuka peluang liberasi dan eksploisasi tanah seperti hak pengelolaan lahan yang dapat memicu konflik baru Agraria, selain itu korporasi masih bisa mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) atas tanah hal ini dapat menyebabkan ketimpangan penguasaan tanah, seharusnya HGU diperioritaskan untuk rakyat miskin/koperasi petani agar mendapatkan manfaat dan perbaikan ekonomi untuk hidup yang lebih manusiawi. Selanjutnya Subtansi RA (Reformasi Agraria). Dalam RUU Pertanahan mengakomodir Reforma Agraria hanya saja selama ini pemerintah melakukan reforma agrarian palsu, pemerintah hanya membagi-bagi tanah tanpa tindak lanjut. Seperti bagaimana tanah difungsikan sesuai fungsinya untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, tidak pernah dibangun skema control bagaimana tanah yang dikuasai rakyat digunakan demi kepentingan ekonomi komunitasnya. Missalnya dengan membangun koprasi rakyat/petani. Selain itu pemerintah beranggapan reforma agrarian dapat dilakukan secara sustainable/berkelanjutan padahal reforma agrarian dilakukan dalam waktu yang sudah ditentuan dan serentak secara nasional.”Dan yang berkutnya Kelembagaan RA.Terkait poin keempat tuntutan kami ini, hal yang belum terakomodir dalam UU Pertanahan adalah pelaksanaan RA masih dilakukan oleh istrumen negara seharusnya dilakukan oleh badan ad hoc yang khusus menangani reforma agrarian dari pusat hingga desa untuk mewujudan reforma agraria sejati,”jelasnya.

Sedangkan dalam UU lain yang krusial untuk dikritisi lanjutnya adalah UU KPK yang baru dan lembaga KPK itu sendiri. Lembaga KPK ini menangani kejahatan luar biasa (Extra Ordinary/Serius crime) yang penanganya membutuhkan dukungan hukum pidana yang khusus (Extra Ordinary criminal Law), selain itu lembaga anti rasual ini mengemban semangat reformasi untuk menuntaskan KKN di negeri ini.

Sayangnya bukannya mewujudkan lembaga yang semakin kredibel KPK malah kehilangan intregitasnya dengan adanya 18 kasus yang masih menumpuk di meja KPK yang terkesan sengaja dibiarkan. Selain itu adanya upaya pelemahan KPK pun harus menajadi sorotan karena potensi melemahkan KPK secara hukum tidak dapat dibiarkan, dalam uu KPK yang baru.

Pada pasal 40 ayat (1) KPK berwenang menerbitkan SP3 padahal hal ini berkemungkinan disalah gunakan oleh pihak tertentu. Selain itu pada UU baru, Pimpinan KPK tidak lagi menjadi penyidik dan penuntut, lantas siapa yang yang berhak menjadi penyidik dan penuntut KPK?

“Oleh karena itu kami berharap adanya perbaikan pada UU KPK dan Meminta KPK segera menyelesaikan 18 kasus yang seolah sengaja dibiarkan dan terancam kadaluarsa,”ujarnya.

Sedangkan untuk RUU KUHP Pidana,BEM Unma menilai RUU ini dimungkinkan adanya represifitas negara terhadap sipil seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 dan pasal 598 RUU KUHP, soal “hukum yang hidup dimasyarakat” hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan penyimpanan azaz legalitas yang dapat menimbulkan kesewenangan aparat. Pasal 281-282 yang memuat tindak pidana merendahkan pengadilan pasal ini berpotensi memasang kebebasan pers. Pasal 440-449 RUU KUHP soal pengaturan tindak pidana penghinaan hal ini tidak relevan dengan negara yang menganut sistem demoktaris dan berpotensi dijadikan sebagai pasal anti body bagi penguasa yang anti kritik.Serta Pasal 167 RUU KUHP tentang makar berpotensi memberangus kebebasan berpendapat karena definisi makar tercabut dari asal katanya yaitu (aant slak) serangan.

“Karena itu Pemerintah DPR sebaiknya bersama-sama memperbaiki pasal kontroversi untuk disahkan menjadi UU dan meminta kampus Universitas Majalengka untuk merespon isu ini secara akademik karena kampus merupakan miniature ilmiah, bukan malah sebaliknya memprofokasi mahasiswa untuk turun kejalan sedangkan kampus tidak memberikan usulan draft kajian akademik yang dibahas bersama-sama dengan mahasiswa,”tegasnya. (Abduh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *