Islam Nusantara dan Pendekatan Dakwah Pesantren (2/5)

  • Bagikan

SAAT itu terjadi perang ideologi diantara para Ulama yang semakin jelas mengarah pada perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada. Singkatnya perombakan tradisi meliputi 3 hal:

1. Kebiasaan Semedi sebagai puji mengheningkan cipta, diusahakan berubah menjadi shalat lima waktu.

2. Kebiasaan sesaji diusahakan menjadi pemberian shadaqah.
3. Perilaku meniru dewa dalam upacara perkawinan dengan menanam pohon klepu, Dewa Daru, menabuh gamelan Okananta, nyanyian wanita yang mengelu-elukan kehadiran dewa dalam gerak tari tayuban diusahakan dihilangkan dengan jalan kebijaksanaan sehingga tidak menyinggung perasaan hati rakyat banyak.

Metode dakwah Walisongo juga melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat. Jadi dipikirkan masalah halal-haram, masak-memasak sehingga untuk efisiensi dalam perekonomian, mereka berijtihad tentang kesempurnaan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah sehingga Sunan Kalijaga menyumbangkan karya seperti filsafat bajak dan cangkul, juga dengan membuat jasa dalam bidang tersebut diharap dapat menarik perhatian masyarakat. Begitu juga Sunan Drajat dengan pemikiran tentang kesempurnaan alat angkutan (transportasi) dan bangun perumahan. Sunan Gunung Jati menyumbangkan pemikiran tentang perpindahan penduduk (migrasi).

Selain itu dalam mengembangkan dakwah keIslaman para wali menggunakan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Giri tampil sebagai ahli negara para Walisongo. Beliau pula yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-pedoman tatacara keraton. Sunan Kudus membantu Sunan Gunung Giri dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah.

Walisongo juga berdakwah melalui jalur keluarga dan perkawinan dalam rangka memperluas dakwah Islam, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menjalin hubungan dengan para tokoh Islam muda yang sebagian besar adalah murid Sunan Ampel sendiri.

Demikian beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode dakwah Walisongo, di antaranya: Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya dengan menjalin hubungan geneologis. Beliau menikahkan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari Ngudung.

BACA JUGA:  Semangat Kartini Jadi Inspirasi Wanita Petugas Kebersihan Ini

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begitupun juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli negara Walisongo, yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Walisongo, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan dan keistimewaan dakwah para Wali, Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan yang dimiliki oleh para Wali: Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historic kemanusiaan.

Keberhasilan Walisongo diawali dengan metode dan gerakan dakwahnya melalui penjelasan makna Islam secara sederhana dan sesuai dengan pemahaman yang berlaku di tengah masyarakat, sehingga wajah keIslaman Nusantara pada akhirnya memiliki corak yang khas, turut menghargai dan memelihara tradisi masyarakat yang ada, serta dilakukan tanpa disertai pergolakan maupun kekerasan.

BACA JUGA:  Dewan Usul Pakai Gedung DPRD, Pemkot Pilih Sewa Hotel Langensari Mulai 1 Agustus

Apa yang telah dilakukan Walisongo melalui gerakan dakwahnya merupakan hasil sejarah. Dalam pemahaman lain, sejarah bukan merupakan sesuatu yang statis, diam dan tak berkembang: dia memiliki keterkaitan dan rangkaian waktu yang saling memengaruhi, sehingga apa yang telah diterapkan Walisongo dalam membentuk wajah masyarakat Islam di Indonesia sekarang ini adalah keberhasilan mereka sebagai pelopor keislaman di Nusantara.

Selain itu Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasa dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Nusantara, terutama Jawa mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga kepemerintahan. []

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *