CIREBON (CT) – Pengguliran dana desa yang mencapai ratusan juta rupiah dari pemerintah pusat untuk tiap desa, ternyata malah membuat kinerja para kuwu dan perangkat desa kurang maksimal dalam pelayanan kepada masyarakat. Sehingga, perlu adanya tindakan tegas dari pihak terkait.
Ketua Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Kabupaten Cirebon, Adang Juhandi mengatakan tujuan pemerintah pusat yang menggelontorkan dana desa untuk kemakmuran masyarakat, kesejahteraan kuwu dan perangkat desa juga kemajuan desa dalam berbagai aspek. Akan tetapi, setelah adanya penghasilan tetap (siltap) bagi para kuwu dan perangkat desa, kinerja menurun. Hal ini terlihat adanya balai desa yang tutup saat jam kerja.
“Seharusnya kuwu dan perangkat desa lebih maksimal dalam melayani masyarakat di balai desa, bukan di rumah,” tegasnya, Sabtu (22/07).
Adang mencontohkan, saat monitoring ke beberapa desa di wilayah timur. Ternyata sebagian besar saat jam kerja, masih banyak yang tutup. Tentunya masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pelayanan.
“Memang, jam kerja kuwu dan perangkat tidak terbatas. Bisa melayani masyarakat kapan pun. Namun, alangkah baiknya jika balai desa buka saat jam kerja,” katanya.
Masih dikatakan Adang, selain itu, dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat untuk pembangunan desa, terkesan menjadi bancakan kuwu dan perangkat desa. Hal ini terlihat, masih minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan lapangan pekerjaan. Sehingga, banyak masyarakat merantau untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
“Seharusnya dana desa yang ratusan juta rupiah, mampu menurunkan pengangguran di desa. Dengan cara membuka lapangan kerja, seperti perbengkelan dan dana lunak untuk usaha. Agar, masyarakat tak perlu lagi merantau. Selain itu, supaya tingkat ekonomi masyarakat meningkat dan secara otomatis indeks pembangunan manusia lebih meningkat pula,” paparnya.
Dirinya mengharapkan, inspektorat harus responsif dalam melakukan pengawasan. Bukan hanya administratif saja, melainkan perencanaan, pelaksanaan pembangunan desa dan penilaian kinerja kuwu beserta perangkat.
“Percuma saja jika masyarakat tidak merasakan pembangunan dan minim partisipasi masyarakat, bisa jadi terkesan bancakan kuwu dan perangkat,” ujarnya.‎ (Riky Sonia)