Asal Usul Majalengka (2)

Oleh: Drs. H. Rahmat Iskandar alias Rais Purwacarita (Sejarawan, Budayawan sekaligus Wartawan Senior Majalengka)

TULISAN ini berdasarkan hasil penelitian selama 14 tahun. Saya turunkan secara berkala untuk memberikan pencerahan kepada warga Majalengka memahami persoalan sejarah yang sesungguhnya.

Dari 3 kerajaan besar di tanah Majalengka, Talaga mungkin yang memiliki bukti-bukti sejarah lebih lengkap. Selain disitir banyak kitab-kitab terbitan Pakungwati, Talagapun meninggalkan beberapa situs dan legenda yang tersebar hampir di semua wilayah Jawa Barat. Bukan hanya di sekitar Talaga yang jadi pusat kajian, namun sampai ke bekas-bekas pelarian Arya Secanatapun tercecer berbagai cerita mulai dari Cieurih, Kadu, Cadasngampar, Tanjungsiang sampai ke Subang dan Cianjur. Keturunan Talaga tidak hanya diakui rakyat Talaga tapi juga oleh para penulis sejarah Subang dan Cianjur. Bahkan tertulis dalam Kitab Melayu Ihwal Kerajaan Pugung di Lampung Selatan. Silsilah keturunannya diakui para perumat keturunan Talaga yang ada di berbagai tempat di Jawa Barat . Seperti Arya Wangsagoparana di Tanjungsiang,Subang atau KH.Yusuf di Majalaya,Cianjur.

Demikian juga dengan adat seba yang dilakukan masyarakat Nunuk dan upacara pajang jimat yang secara rutin masih dilakukan para kerabat yang mengaku keturunan Talaga yang terhimpun dalam Yayasan Talagamanggung. Semua itu menunjukkan bahwa Kerajaan Talaga memang pernah ada.

Kitab kitab lama yang berada di Cirebon termasuk dari arsip de Haan menunjukkan bahwa sejarah berdirinya Majalengka berawal dari keruntuhan Dinasti Talagamanggung pada saat pemerintahan Secanata (1692), suami ratu terakhir Talaga. Karena Secanata tidak kompromistis dengan pemerintahan Belanda pada saat itu. Maka dia digempur tentara VOC dan lari meninggalkan keraton (1692). Sejak itu, pusat kerajaan Talaga dipindahkan ke Majalengka sekarang. Arah pelarian Secanata banyak dituturkan masyarakat mulai dari Cieurih (makam panjang), Kadu sampai Tanjungsiang. Secanata adalah suami dari Ratu Tilarnagara, putri Sunan Kidul. Perhatikan mana Tilarnagara yang artinya ratu yang meninggalkan negara.

BACA JUGA:  Ketika Insinerator Membuat Labil Pemkab Cirebon (2/2)

Satu catatan untuk diperhatikan, pada tahun 1530 Masehi, Talaga mungkin tidak jatuh atau menjadi jajahan Cirebon. Setelah masyarakatnya masuk Islam, Kerajaan Talaga masih tetap berdiri dengan raja-rajanya terdiri atas keturunan kerajaan Talaga itu sendiri. Jadi tidak nampak adanya intervensi dari penguasa Pakungwati untuk menguasai apalagi menjajah Talaga. Nampaknya Talaga tidak ditaklukan melainkan adanya pembicaraan bilateral antara kedua kerajaan.

Dalam pustaka Caruban Nagari (Pangeran Arya Carbon-1786) diisyaratkan, tidak terjadi pertempuran antara tentara Talaga denga Cirebon. Melainkan pembicaraan bilateral antara Sunan Gunung Jati dan Pangeran Arya Saringsingan yang kemudian dibawa ke forum kerajaan dimana Sunan Gunungjati langsung berhadapan dengan Pucuk Umum Parunggangsa . Terjadilah kesepakatan bilateral yang intinya Sunan Gunungjati diijinkan untuk menyebarkan agama islam di Talaga. Sebuah kerajaan yang rajanya dan rakyatnya masuk Islam tidak selalu diartikan runtuhnya kerajaan itu.

Satu keistimewaan buat Talaga, dalam pertempuran Rajagaluh atau Indramayu tak pernah diceritakan bahwa Sunan Gunungjati ikut menangani secara langsung mengislamkan suatu wilayah . Lalu mengapa untuk Talaga beliau ikut menangani? Bila persepsi kita benar, Cirebon ternyata tidak pernah menaklukan Talaga. Saat itu Talaga memang sangat kuat dan sulit diserang. Karena beberapa kerajaan yang memusuhi Cirebon bergabung dengan Talaga. Selain itu , Sunan Gunungjati enggan berhadapan dengan orangtuanya di Pajajaran. Lebih dari itu kerajaan Pajajaran dibawah kekuasaan Prabu Surawisesa, masih sangat kuat. Sehingga pada saat bersamaan antara Banten dan Pajajaran pun terjadi hal serupa. Dalam traktat 29 juni 1531 M (Carita Parahyangan I Bhumi Jawadwiva), kedua belah pihak mengakui bahwa mereka itu sebetulnya masih bersaudara. Oleh karena itu mereka berjanji untuk tidak saling menyerang bahkan akan saling menyayangi dan saling membantu.

Agama Islam berkembang di Talaga, secara alami, lewat kebebasan dari Parunggangsa kepada ulama Cirebon untuk menyebarkan dakwah tanpa paksaan.

BACA JUGA:  Menempelkan Paku Berakibat Pohon Rawan Tumbang

Pesepsi ini melihat kenyataan bahwa untuk seterusnya keturunan Parunggangsa masih tetap menjadi raja di Talaga. Tidak digantikan oleh orang Cirebon. Artinya, saat itu Talaga belum jatuh atau runtuh. Keruntuhan yang lebih realistis justru terjadi pada saat Arya Secanata. Bahwa Talaga tak pernah menjadi jajahan Cirebon terlihat dari nama-nama rajanya yang tak satupun berganti nama seperti yang dilakukan keturunan Cirebon.

Dalam Babad Cianjur dan Sejarah Subang disebutkan, Arya Wangsagoparana kabur dari Talaga karena ayahnya , Wanaperi, Raja Talaga, tak setuju anaknya masuk islam.

Dalam pustaka Caruban Nagari disebutkan, bahwa Rajagaluh adalah kerajaan kecil yang berada dibawah kekuasaan samrat Pajajaran. Sedangkan Kerajaan Talaga merupakan pucuk umum (kordinator wilayah) yang mengkoordinir kerajaan-kerajaan kecil di wilayah barat. Termasuk Rajagaluh, Parung (Kuningan) dan Tirtayasa (Jatiwangi). Pada saat itu, walaupun di Cirebon ada kerajaan-kerajaan kecil seperti Indraprasta, Cirebon Girang, Sing Apura atau Surantaka. Namun sebagian wilayah Cirebon ada yang masuk ke dalam kekuasaan Rajagaluh.

Pada saat telah berdiri kerajaan Pakungwati dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati telah diangkat jadi raja di sana. Islampun mulai disebarkan dari wilayah sana. Cirebonpun telah merasa kuat untuk tidak tunduk kepada kekuasaan Rajagaluh dibawah pemerintahan Prabu Cakraningrat.

Namun Sunan Gunungjati tahu betul bahwa Talaga tak mungkin bisa diruntuhkan, karena selain banyak orang kuat seperti halnya senapati Arya Saringsingan yang terkenal kesaktiannya. Juga bila berani menyerang Talaga sama dengan mengusik Pajajaran, kerabat dekatnya. Ini belum saatnya. Karena taktik Demak saat itu ibarat makan bubur panas. Makan dari pinggirnya dulu baru ke tengah. Pajajaranpun runtuh setelah Talaga berdamai dengan Cirebon lewat misi diplomasi Sunan Gunungjati. Demikian pula halnya dengan Talaga. Rajagaluhlah yang harus terlebih dulu ditaklukkan, baru kemudian Talaga. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *