Oleh : Jaka Sulaksana*
Pada tanggal 17 Agustus seluruh anak negeri secara serempak memperingati Hari Lahir dan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di seluruh penjuru tanah air, masyarakat merayakan hari bersejarah ini dengan cara mereka masing-masing. Beragam makna akan hari kemerdekaan bersemayam di lubuk hati tiap insan negeri. Apakah itu seorang presiden, gubernur, atau pejabat pemerintahan lainnya, atau juga misalkan seorang guru, pengusaha dan bahkan hingga para petani. Setiap insan negeri memiliki persepsi dan makna tersendiri akan hari kemerdekaan bangsa.
Jika kita lihat atau menonton film-film, dokumentasi tentang perjuangan pada saat revolusi kemerdekaan, ada dua kelompok profesi masyarakat yang dominan lekat akan perjuangan rakyat Indonesia, yaitu kaum petani dan guru. Mengapa mereka yang begitu lekat dengan proses perjuangan? Bukankah ada juga kaum pengusaha pribumi, atau pejabat pemerintahan atau juga para tuan tanah? Ada beberapa latar belakang yang mendasari melekatnya label perjuangan pada dua kelompok masyarakat ini yang sebetulnya tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.
Dari dulu hingga sekarang, pertanian merupakan ladang mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Di daerah-daerah pedesaan, bertani merupakan salah satu kesempatan kerja yang masih paling mungkin untuk dilakukan, hingga saat ini. Apakah itu dengan menjadi pemilik lahan, penyewa lahan, atau bekerja di lahan milik orang lain. Begitu juga saat revolusi kemerdekaan. Bahkan lahan dan komoditas pertanian dan perkebunanlah yang menjadi incaran kaum penjajah. Bukankah rempah-rempah nusantara yang dahulu dikejar-kejar oleh VOC? Bukankah kopi, teh, dan hasil perkebunan nusantara yang dicari penjajah untuk diekspor ke Eropa? Semua incaran tersebut adalah komoditas pertanian. Dari sini saja sudah tergambar, bahwa para petani menjadi kaum yang paling tertindas. Maka wajar saja, jika para petani jugalah yang paling banyak ikut dalam perjuangan bangsa melawan penjajah bahkan menjadi maskot perjuangan.
Bagaimana dengan guru? Dalam istilah Sunda, guru berasal dari kata di-gugu dan di-tiru. Artinya adalah setiap perkataan dari seorang guru didengar oleh rakyat, dan setiap perilaku guru ditiru oleh masyarakat. Hal ini mengungkapkan bahwa seseorang yang menjadi guru pada saat perjuangan kemerdekaan adalah panutan bagi masyarakat. Mereka dianggap sebagai orang yang terdidik, terpelajar, dan orang yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas serta memiliki kepercayaan diri yang lebih dibanding yang lain. Maka wajar saja, jika tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan adalah seorang guru. Dari sejarah kita tahu bahwa Jenderal Besar Soedirman dulunya adalah seorang guru. Begitu juga dengan pemimpin besar revolusi, Ir.Soekarno yang juga seorang pendidik. Dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang berasal dari kaum pendidik.
Pertanyaannya adalah, apa makna dari peringatan hari kemerdekaan bagi para petani dan guru saat ini?
Pada jaman perjuangan kemerdekaan, telah disebutkan bahwa petani menjadi kaum yang paling tertindas. Akankah hal ini berlanjut hingga saat ini? Dahulu mereka direbut lahannya, hasil taninya dirampas untuk upeti, orangnya diharuskan kerja rodi dan romusha, tidak boleh mengenyam pendidikan tinggi dan masih banyak penderitaan lainnya. Bagaimana dengan kondisi petani saat ini? Walaupun secara fisik, mungkin mereka tidak mengalami penderitaan seperti dulu, akan tetapi esensi penderitaan akan ketertekanan, masih dirasakan. Buat mereka, esensi kemerdekaan saat ini adalah bagaimana caranya agar mereka dapat mengelola atau memiliki lahan pertanian yang cukup untuk bercocok tanam (reformasi agraria), Bagaimana caranya agar mereka dapat memiliki dengan mudah dan murah akan input-input pertanian (bibit, pupuk, pestisida, dll), bagaimana caranya agar mereka dapat mengelola lahan pertaniannya dengan baik dan benar (inovasi teknologi), dan bagaimana caranya agar mereka dapat menjual hasil panennya dengan harga yang pantas. Itulah esensi kemerdekaan bagi mereka saat ini.
Bagaimana dengan guru? Setelah masa kelam di jaman orde baru, ketika para guru hanya menjadi alat politik bagi kekuasaan, secara perlahan tapi pasti, secara umum nasib para guru lebih baik daripada para petani. Dengan adanya Undang- Undang Guru dan Dosen, pengakuan akan profesi guru menjadi lebih baik. Lalu apa esensi peringatan hari kemerdekaan bagi para guru? Esensinya adalah mengembalikan ruh perjuangan guru seperti jaman perjuangan kemerdekaan dahulu, yaitu dengan segenap jiwa dan raga membaktikan diri secara lebih “profesional” bagi peningkatan kecerdasan, serta budi luhur dari masyarakat Indonesia. Kembali ke jati diri sebagai seorang pribadi yang bisa di-gugu dan di-tiru. Jika kedua esensi ini dipahami, sebagian besar problematika bangsa yang menggayut, akan mudah terurai.
Merdeka!
*Dosen Universitas Majalengka
Komentar