Tiga Abad Babakan Ciwaringin – Babakan Ciwaringin sebagai Kata Sifat

Oleh: Bakhrul Amal*

BABAKAN Ciwaringin, begitu kita menyebutnya. Sebuah daerah yang terletak di jalur perbatasan antara Cirebon dan Majalengka.

Di Babakan Ciwaringin berdiri begitu banyak tempat belajar agama Islam. Dari mulai yang tradisional sampai modern. Atas dasar hal tersebut; Babakan Ciwaringin dikenal oleh masyarakat sekitar, maupun Indonesia pada umumnya, sebagai daerah Pondok Pesantren. Daerah tempat kyai memoleskan kharomahnya mencetak generasi-generasi emas penyangga tiang Agama turunan Ibrahim.

Konteks yang saya sebutkan di atas adalah konteks Babakan Ciwaringin sebagai tempat atau locus. Tempat dalam pendikotomian kata Bahasa Indonesia termasuk pada bagian kata keterangan. “Ayah pergi kemana?”, “Ayah pergi ke Babakan Ciwaringin”, begitulah contoh kalimat penunjukannya.

KI JATIRA

Identitas Babakan Ciwaringin sebagai daerah Pondok dibangun bukanlah sehari, atau dua hari. Menurut risalah, Babakan Ciwaringin didirikan pada tahun 1715 oleh Syekh Hasanuddin, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan Ki Jatira. Artinya, identitas Babakan Ciwaringin sebagai daerah santri dan daerah pejuang syuhada sudah hampir melampui tiga abad.

Pemilihan Ki Jatira terhadap daerah Babakan Ciwaringin bukanlah tanpa suatu alasan. Babakan Ciwaringin, di masa lalu, adalah daerah kering yang miskin. Seperti pada umumnya daerah yang termarjinalkan, masyarakat Babakan Ciwaringin masihlah terbelakang secara ilmu pengetahuan. Karena kesukaan Ki Jatira yang dekat dengan rakyat kecil itulah keputusan pendirian Pondok Babakan Ciwaringin dilakukan.

Bak gaung bersambut, masyarakat pun senang dengan kehadiran Ki Jatira. Ki Jatira, pada waktu itu, bagaikan damar yang menerangi kegelapan nan pekat. Ki Jatira menjadi harapan bagi masyarakat untuk berlindung serta membentengi diri dari cengkraman penjajah, apabila waktunya tiba Belanda berekspansi ke Babakan Ciwaringin.

Hal yang dikhawatirkan pun menemui waktunya juga. Belanda akhirnya datang ke daerah Babakan Ciwaringin. Masyarakat Babakan Ciwaringin yang sudah diasupi gizi intelektual oleh Ki Jatira, sama sekali tidak gentar dengan kehadiran kompeni itu. Perang meletus. Penolakan pembangunan jalan, penolakan terhadap kerja Rodi digaungkan dengan serbuan masif penuh strategis dari santri Babakan Ciwaringin. Perang yang maha dahsyat itu dikenal dengan Persitiwa Kedondong, atau peristiwa dimana dua jawara Tubagus Serit dan Tubagus Rangin dikira meninggal oleh Belanda karena dasar ditemukan pakaian keduanya di dalam sumur yang disampingnya tumbuh pohon kedondong.

Selepas itu kepemimpinan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin pun berregenerasi. Ki Jatira meninggal dan secara resmi digantikan oleh Ki Nawawi, menantunya. Di zaman Ki Nawawi dibangun suatu Mushola besar yang lambat laun, pada masa cucunya Ki Ismail, dikenal sebagai Pondokgede. Di tahun 1916 Ki Ismail wafat. Tampuk kepengurusan pengasuh Pondokgede kemudian diteruskan oleh keponakannya yang juga menantunya bernama Kiai Muhamad Amin bin Irsyad atau Ki Amin Sepuh.

Kepemimpinan Ki Amin Sepuh berhasil membawa Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin kepada masa jayanya. Banyak santri dari berbagai daerah Nusantara ngelmu ke Babakan Ciwaringin. Pada periode itu, mushala hasil pendirian Ki Nawawi pada tahun 1769 dibesarkan menjadi sebuah masjid. Pondokgede pun diubah namanya menjadi Pondok Pesantren Raudlatultholibin.

Tahun 1952, sebagai konsekuensi kejayaan, Belanda kembali hadir menyambangi Babakan Ciwaringin. Agresi kedua Belanda ini berhasil membuat Ki Amin Sepuh beserta keluarganya mengungsi. Bangunan dan beberapa kitab dibakar karena dianggap merusak akal.

Barulah di tahun 1954, Kiai Sanusi, salah seorang santri Ki Amin Sepuh, berani berkunjung kembali ke tempatnya belajar. Puing-puing hasil kekejaman Belanda ia rapihkan. Serakan kitab ia susun menjadi tumpukan yang lebih elok dipandang. Di tahun 1955 Ki Amin Sepuh akhirnya kembali ke Pondokgede hingga wafatnya di tahun 1972.

KATA SIFAT

Sejarah Babakan Ciwaringin tadi adalah terminus a quo atau sebuah titik awal. Penumbuhan intelktualitas di masa-masa awal Ki Jatira, pengorganisasian strategi ketika Belanda datang, dan pemberontakan karena penolakan dijajah, adalah sifat dari titik awal tersebut. Sifat itulah yang membuat Babakan Ciwaringin tetap eksis tumbuh dan berkembangkan hingga kini.

Jikalau ada terminus a quo tentunya ada sebuah terminus ad quem (titik akhir). Titik akhir dari perjuangan itu ialah upaya kita bersama untuk mengubah Babakan Ciwaringin dari kata keterangan, menjadi kata sifat. Babakan Ciwaringin, sepanjang rentan waktu, kemudian harus dimaknai tidak sekedar penunjukan lokasi (locus), tetapi penunjukan pribadi manusia yang berjati diri, berani, dan berintelektualitas. Ketika orang bertanya “Anda orang mana?” dan didapati jawaban “Saya orang Babakan Ciwaringin!”, maka imajinasi penerima pesan Babakan Ciwaringin akan langsung bermetonimi (satu kesatuan kata) pada keberanian serta kecerdasan.

Itulah keberlanjutan daripada sejarah. Selamat dan sukses haul akbar ke 3 Abad Babakan Ciwaringin Cirebon! []

*Penulis adalah peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *