Proxy War (2)

Oleh DADANG KUSNANDAR

MENURUT KSAD Jendral TNI Gatot Nurmantyo (Februari 2015), muatan yang dibawa oleh agen proxy war meliputi ideologi, politik dan sosial budaya. Sebagai contoh dalam ideologi. Agen ini menggembor-gemborkan kesetaraan, tidak ada kesenjangan diantara si kaya dan si miskin, satu untuk semua, semua untuk satu.

Tanpa disadari masyarakat diracuni faham komunis. Dalam politik, agen proxy war bergerak mengacaukan pemerintahan, mengganggu keamanan dan ketertiban menggunakan kelompok separatis bersenjata maupun politik. Dan dalam hubungan sosial budaya, agen proxy war biasanya menularkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak mencerminkan budaya Indonesia seperti kekerasan dalam menyampaikan aspirasi, pergi ke diskotik, minum minuman keras, menggunakan obat-obat terlarang bahkan melakukan seks bebas. Segala bentuk penyerangan proxy war membuat suatu negara rapuh dalam seluruh bidang ipolek sosbud hankam, dan tidak memiliki kekuatan sehingga tanpa disadari negara tersebut sudah kalah walau tanpa berperang.

Dengan demikian, manakala kemiskinan dan ketidakadilan meraja lela, maka bukan saja PKI yang akan bangkit. Melainkan juga aliran-aliran ekstrem berbaju agama pun akan bangkit. Sepertinya ruang terbuka itu kian menganga, sehingga mudah dimasuki paham lain yang berseberangan dengan ideology yang telah disepakati para pendiri tatkala merumuskan konsep ideologi yang pas di wilayah Nusantara.

Jikalau kini muncul ketakutan psikis atas peluang kebangkitan PKIM, sebenarnya yang patut diwaspadai adalah akar persoalan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ideologi selain Pancasila. Sebagiamana tertulis di atas, kemiskinan dan ketidakadilan dapat menjadi pemicu kebangkitan paham-paham lain, yang celakanya apabila kebangkitan itu didanai oleh negara-negara besar yang berkepentingan bagi pelemahan NKRI.

Selain itu bisa juga masalah otonomi daerah ketika daerah berpenghasilan subur, menolak pembagian hasil kekayaannya berdasar keputusan pemerintah pusat. Pemberlakuan otonomi daerah yang tidak tepat pada akhirnya memberi kesempatan kepala-kepala daerah untuk mbalelo terhadap Jakarta. Dengan alasan membangun daerah sendiri dengan kekayaan sendiri serta tidak harus patuh kepada pemerintah pusat. Alasan lain ialah ketidakmerataan pembangunan fisik di daerah. Jakarta terus dibangun dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern, sementara daerah (sebagai lumbung kekayaan) dibiarkan meratapi nasibnya sendiri.

BACA JUGA:  Bupati Majalengka Pimpin Upacara Peringatan Hari Agraria Nasional ke-57

Kuncinya ialah ketidakadilan yang diam-diam terjadi pada negeri yang dikategorikan demokratis. Ketika ketidakadilan menguat ketika itulah proses pelemahan bangsa berlangsung dengan sendirinya. Dan ketika kemiskinan masih mendekap kehidupan rakyat banyak, ketika itulah ketidakpercayaan atas kepemimpinan (yang demokratis) akan melemah dan berakibat pada pencarian bentuk pemerintahan baru serta kemungkinan menerapkan ideologi lain. Pada kondisi ini maka diam-diam negara lah yang membuka peluang proxy war tanpa disadari. Sesama rakyat berkelahi untuk keluar dari keadaan yang tidak dikehendaki.

Perang tanpa tentara dengan beberapa indikasi yang tertera di atas merupakan perang demi memenangkan kepentingan. Kepentingan itu bukan semata berwujud idelogi, melainkan juga ekonomi dan balkanisasi.

Dr. Otto Scharmer, seorang dosen di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat dan pendiri Presencing Institute, mengatakan bahwa demokrasi baru yang lebih berdaya tahan dan tangguh adalah demokrasi yang mengedepankan empat hal, yaitu dialogis, partisipasi langsung masyarakat, turun ke bawah, dan digital. Keputusan yang diambil dalam sistem demokrasi ini berasal dari kesepakatan seluruh perwakilan masyarakat dan bukan berasal dari satu kelompok. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *