Oleh: Jaka Sulaksana
Rumusan mengenai Ekowisata menurut Simposium Ekowisata di Bogor (1996), yakni sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat dengan kaidah alam, yang mendukung berbagai upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Damayanti dkk, 2003).
Agrowisata, sebagai bagian dari ekowisata, pengertiannya adalah suatu usaha yang memanfaatkan aspek pertanian sebagai obyek wisata. Tujuannya lebih menekankan pada menambah pengetahuan pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha di bidang pertanian.
Kesamaan dua jenis wisata ini adalah pemanfaatan sumberdaya alam sebagai objek wisata di suatu daerah yang diharapkan dapat menarik banyak wisatawan untuk datang dan mengunjunginya selama dan sesering mungkin. Pengembangannya dapat diarahkan dalam bentuk ruangan tertutup (seperti museum atau “showroom”), ruangan terbuka (taman atau lansekap), atau kombinasi antara keduanya.
Sektor pariwisata, termasuk eko dan agrowisata dapat maju dan berkembang apabila memenuhi beberapa persyatan, seperti (Spillane, 1994): a) Attractions, adanya objek yang atraktif/menarik dan unik, seperti pemandangan alam yang indah dan unik seperti hamparan kebun/lahan pertanian, pantai dan laut, bukit dan pegunungan serta lembah air terjun, keindahan taman, budaya dan kesenian lokal yang khas.
b) Facilities (fasilitas, sarana dan prasarana), fasilitas yang diperlukan berupa sarana umum, telekomunikasi, hotel dan restoran ; c) Transportation, transportasi umum, terminal bis, sistem keamanan penumpang, sistem informasi perjalanan, kepastian tarif, peta kota/objek wisata
d) Infrastructure, berupa sarana jalan darat (bila memungkinkan sarana sungai atau lainnya), pengairan, jaringan komunikasi, fasilitas kesehatan, sumber listrik dan energi, sistem pengelolaan limbah/sampah/kotoran/pembungan air, dan sistem keamanan; e) Hospitality, keramah-tamahan masyarakat, hal ini akan menjadi cerminan keberhasilan sebuah sistem pariwisata yang baik
Menurut Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat (2010), macam/jenis eko-agrowisata dapat dikelompokkan menjadi : a) Wisata Alam : pantai, pegunungan, hutan, sungai, air terjun, perkebunan/pertanian, peternakan/perikanan, danau, gua, mata air, dan „outbond‟; b) Wisata Budaya : upacara adat, peninggalan sejarah, makam, situs purbakala, kampung adat, permainan tradisional, rumah adat, keraton, makanan tradisional, kesenian, tarian, c) Wisata Kriya/Kerajinan : angklung, batik, wayang, alat musik/gamelan, dan perkakas rumah tangga,
Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. ( Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2-3).
Pada pendekatan ini diperlukan beberapa kriteria yaitu : 1) Atraksi wisata (daya tarik wisata); yaitu semua yang mencakup alam, budaya dan hasil ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa.
2) Jarak Tempuh; adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten; 3) Besaran Desa; menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik dan 4) luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa.
5) Sistem Kepercayaan dan kemasyarakatan; merupakan aspek penting mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada; 6) Ketersediaan infrastruktur; meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya.
Prinsip dasar dari pengembangan desa wisata, yaitu 1) Pengembangan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta pelayanan di dalam atau dekat dengan desa; 2) Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa, salah satu bisa bekerja sama atau individu yang memiliki.
3) Pengembangan desa wisata didasarkan pada salah satu “sifat” budaya tradisional yang lekat pada suatu desa atau “sifat” atraksi yang dekat dengan alam dengan pengembangan desa sebagai pusat pelayanan bagi wisatawan yang mengunjungi kedua atraksi tersebut.
Desa wisata menjadi pilihan logis di dalam pengembangan desa atau pemberdayaan desa berbasis wisata (Community based tourism). Desa wisata juga dapat menjadi pilihan penyeimbang dan jembatan penghubung di dalam mengantisipasi laju pertumbuhan ekonomi industri sebagai dampak pembangunan infrastruktur di perkotaan.
Keseimbangan antara desa dan kota perlu dijadikan prioritas dalam pengambilan kebijakan percepatan pembangunan dan pemerataan pendapatan, seperti halnya di daerah Ciayumajakuning, terutama Kabupaten Majalengka yang sedang berada di jalur utama percepatan pembangunan infrastruktur.
Prinsip ekowisata yang mengedepankan konservasi alam dan budaya lokal masyarakat (nilai-nilai lokal masyarakat) yang dipadukan dengan prospek pengembangan pertanian ciri khas setempat, tentunya dapat menjadi faktor kunci pengembangan desa wisata dengan tujuan pengembangan kawasan yang ke depannya diharapkan dapat menjadi penyeimbang desa dan kota.
Keduanya dapat saling mewarnai dan mempengaruhi. Masyarakat kota dapat menjadi pengunjung desa wisata dengan tujuan menikmati keindahan alam dan budaya dan juga hasil pertanian, di sisi yang lain, masyarakat desa dapat menikmati peningkatan pendapatan seiring kemajuan kawasan desa wisata. Hanya saja, beberapa restriksi atau aturan tetap perlu diberlakukan dalam pengembangan desa wisata, termasuk dikedepankannya prinsip konservasi alam dan budaya.
*) Wakil Dekan dan Dosen Tetap Fakultas Pertanian, Universitas Majalengka