oleh

Diagnosa Legislatif 2019

Oleh: Sutan Aji Nugraha

Pemilihan Kepala Daerah serentak sudah diselenggarakan untuk menghasilkan produk politik kepemimpinan nasional, baik pada Daerah Tingkat I (satu) dan II (dua) di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesta demokrasi yang mengalami hiruk pikuk panjang dan melelahkan sudah dituntaskan walaupun masih ada saja rasa ketidak puasan dalam hasilnya oleh sebagian masyarakat tanpa disadari masih beredarnya status-status sosial media bernada ironi, sarkas hingga bentuk-bentuk vandalis lainnya. Di ujung proses ini, masyarakat yang sudah jenuh dihadapkan kembali untuk aksi-aksi heroik, seperti turut bertempur kembali ke arena pilpres dan pileg.

Pilkada serentak saja sudah mempolarisasi masyarakat terlebih pertarungan pilpres yang dipastikan terbelah menjadi dua kelompok sedangkan pileg sendiri terpolarisasi oleh daerah pemilihan, ya saya akan mengambil contoh kejadian yang akan terjadi pada pilpres dan pileg di wilayah Jawa Barat, khususnya Kota Cirebon.

Pilkada Kota Cirebon membelah masyarakat menjadi dua kelompok, pengusung paslon nomer satu (OKE; Oki Edo) dan paslon nomer dua (PASTI, Azis Eti) yang di motori oleh parpol besar terlebih pengusung diantara paslon ini tidak linear kepada pilgub Jabar (sudah selesai) dan pilpres (mendatang). Sisi positif selalu ada dengan beriringnya sisi negatif.
Partai politik yang dahulunya berseberangan mendukung dalam paslon Kota Cirebon 2018 kemarin dan hari ini mereka bersama-sama berjuang mewujudkan kemenangan paslon mereka sesuai perintah DPP (Dewan Pimpinan Pusat) masing-masing. Oleh karena itu, dibutuhkan kedewasaan berpolitik untuk bagaimana mengagitasi dan provokasi pemilih dengan mendidik, ya terlebih untuk menyadarkan kaum pemilih pemula untuk menjadi simpatisan bahkan seharusnya sebagai partisipan politik. Sisi lainnya adalah tiap kader masih memiliki luka terhadap paslon junjungan mereka yang kalah dan belum sadar untuk segera move on sebab apa yang ingin menjadi keinginannya telah pupus dan berpikir pilpres tak memiliki pengaruh besar terhadap diri dan kelompoknya atau mengkin roda pemerintahan akan sedikit banyak terpengaruh oleh adanya kepentingan elite parpol guna memenangkan pilpres 2019.

Pemilihan legislatif mampu merusak tujuan, strategi dan taktik dari parpol itu sendiri, mengapa demikian? Sederhana, perjuangan ini jauh lebih substantif pada keinginan langsung timses legislatif ketimbang pilpres nanti. Kader parpol akan berubah menjadi predator internalnya hingga saling klaim dan bajak diantara timsesnya sehingga melupakan tujuannya yakni memenangkan partai politiknya untuk berkuasa di parlemen, beruntungnya pada pilpres dimenangkan juga sehingga penguasaan legislatif dan eksekutif tercapai.

Pada pemilihan legislatif tahun 2019-2024 ada salah satu Anggota DPRD Kota Cirebon yang mengalami kecelakaan politik, ya Doddy Ariyanto adalah salah satu DPRD yang mengalami Pergantian Antar Wilayah (PAW) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di penghujung tahun, yang mana kasus ini sudah bergulir awal tahun 2018 dikarenakan miss communication antar elite Nasdem kota Cirebon dengan Sang Dokter Dewan ini. Semua proses administrasi politik sebenarnya sudah cacat sejak awal disebabkan Ketua Komisi III ditengarai mengundurkan diri padahal dirinya sudah mendapat Surat Peringatan (SP) secara berkala (wlau tanpa pemanggilan komprehensif) namun tak ada sedikitpun niat atau bahkan mengundurkan diri dari partai yang mengantarkan dia duduk di Griya Syawala.

Tak ada yang bisa diharapkan dari rumah politiknya (Nasdem) sehingga Dokter ini menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan hatinya, ya bersebrangan dengan putusan partainya dengan mendukung dan bekerja untuk memenangkan sahabat sekaligus Calon Walikota Bamunas Setiawan Budiman (Oki). Pilihan adalah konsekuensi. Dan pada akhirnya konstestasi pilkada sebagai sekolah politik Dokter ini guna menatap dan menata langkah politiknya kembali bersama Partai Persatuan Pembangunan, dibawah lindungan Ka’bah. Perlu di ingat dan di garis bawahi adalah Doddy Ariyanto ini merupakan sejarah baru dalam perpolitikan Kota Cirebon, yakni seorang Dokter yang ingin hidup lebih bermanfaat untuk sesama, melepaskan kemewahan hidup untuk berbaur bersama rakyat miskin dan seorang legislatif yang berprofesi Dokter di tengah-tengah kebuntuan para politisi yang selalu berbicara hajat hidup orang banyak, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan dia sudah mempraktekan itu semua sedari muda.

Maka dengan hal ini, saya menjadi termotivasi untuk menentukan sikap berada di tengah-tengah masssa guna mengedukasi mereka agar tersadar bahwa mereka bukanlah objek politik melainkan sebagai subjek politik, partisipan politik dari sebuah partai politik seperti di atas. Kaum kelas menengah, akademisi, intelektual dan aparat negara mesti menjadi kekuatan di base mass, tujuannya sederhana agar rakyat tidak terpecah belah atau sampai memakan korban seperti pertempuran melawan issue-issue usang sekarang ini. Koverisasi pemberitaan di berbagai media mampu kita bendung bersama-sama, bukan malah turut membodohi dengan menyebarluaskan kebohongan, menghasut agar memilih paslonnya menggunakan dalil-dalil suci kitab agama.

Rasionalisasi akal sehat dengan data dan fakta harus di kedepankan, rujukan bacaan bukan dari sumber-sumber tidak kredibel namun juga bukan berarti harus menggunakan sumber kitab suci yang jelas tujuannya untuk memberikan keburukan sebab kitab suci mengajarkan kita semua ke jalan kebajikan dan kebenaran mewujudkan insan bermoral, berakhlak baik dan benar.

Segala cara dihalalkan untuk kemenangan tak jauh berbeda yang dilakukan sebagian besar kaum-kaum imperalis dan kita sudah termakan oleh taktik kaum oligarkis itu sendiri. Kaum kapitalis sangat bergembira manakala targetnya sudah mengalami ketergantungan keuangan, informasi bahkan diskursus darinya, penguasaan SDM menunju asset Negara. Calon-calon legislatif sudah di modali pemodal, pembagian teritori pun terkomitmen dalam kontrak politik 5 (lima) tahun mendatang ssedangkan masyarakat (timses) hanya dijadikan kaum legitimasi pundi-pundi kekayaan sang legislator dan bohir. Lalu apa yang diharapkan? Tidak ada, melihat mereka semua makan dan tidur enak di istana (Griya Syawala).

Pemeriksaan awal ini terkesan mengada-ada akan tetapi ini yang terjadi di sektor ideologi, politik dan organisasi dalam menghadapi pilpres dan pileg 2019 secara serentak. Bagaimanapun juga, kewarasan dan kewaspadaan kita sebagai kaum terpelajar sudah semestinya mampu mengantisipasi keburukan ini. Obat maupun jamu memang sangatlah pahit untuk kesembuhan anatomi pemerintahan ini. Mudah, kita harus sadar sesadarnya bahwa politik ini bukanlah pertempuran perasaan dan fisik melainkan ide dan gagasan dalam strategi dan taktik secara terkolektif, partai politik.

Penulis adalah Pengamat Politik, tinggal di Kota Cirebon.

Komentar