Yogyakarta: Antara Intelektual dan Spiritual yang Tidak Tuntas? (1)

Oleh BINTANG IRIANTO

PADA Kamis malam 28 Desember 2017, saya pergi ke Yogyakarta. Awalnya hanya perjalanan biasa bahkan tanpa tujuan, tanpa rencana atau tanpa persiapan. Karena semuanya tanpa terkonsep akhirnya berangkat pun tanpa persiapan apa-apa, tanpa perbekalan juga keinginan, singkatnya semua apa adanya.

Perjalanan ke Yogya atas ajakan seorang sahabat bernama Khaerudin atau biasa saya panggil Pak Khae. Awalnya ajakan tersebut hanya menemani dia ke kampus Univesritas Gajah Mada (UGM) dan memberikan makalah tugas mata kuliah kepada dosennya.

Pria berbadan tinggi dan tegap serta nyentrik ini memang sedang menempuh kuliah Progran Studi Kajian Budaya dan Media di Program Doktoral UGM. Gaya sang dosen ini (biasa dipanggil pak dosen) yang terkadang “dinamis” memberikan kisah tersendiri bagi perjalanan selanjutnya selama di Yogya.

Kami berenam bertolak menuju Kota Gudeg sekira pukul 00.01 WIB. Salah satu dari kami adalah seorang penulis lepas. Tulisannya banyak tersebar di sejumlah media massa baik cetak maupun online. Beliau adalah Cak Dadang Kusnandar.

Seperti biasanya perjalanan “tanpa rencana” kita berenam terus melajukan mobilnya dari Cirebon melalui jalur Batang-Alasroban, dan langsung menuju ke Yogya. Kita lintasi semua jalanan Kota Pelajar sampai ke Kampus UGM Pasca Sarjana pukul 09.00 WIB, karena terlalu banyak berhenti dan ngobrol kesana kemari tanpa tujuan.

Setelah ke UGM, tujuan Pak Khae ini mengantarkan makalah penelitian salah satu mata kuliah kepada salah satu Profesornya, setelah kita makan pagi dan sambil ngopi serta menyelesaikan urusan hajat masing-masing.

Di kampus itulah kemudian kita mempunyai rencana, sembari menunggu Pak Khae menunaikan kewajibannya mengumpulkan tugas, sambil kita semua melanjutkan ngopi dan rokok.

Dalam obrolan ini ada dua tujuan yang harus kita dapatkan, pertama di kampus UGM menemani Pak Khae kita mengobrolkan tentang makalah beliau, karena berkaitan dengan penelitiannya mengenai “Tarling dan Budaya Populer”, dimana diskusi-diskusi kecil terjadi antara kita berenam yang kemudian di moderatori oleh Cak Dadang dan perdebatan kecil terjadi diantara kita.

Kedua, tujuan kita untuk berziarah ke Makam (Makbaroh) para leluhur-leuhur jawa yaitu di Imogiri, dan tujuan ketiga, adalah nongkrong ke Malioboro, sebuah tempat Favorit di Yogya yang semuanya hampir diminati oleh semua wisatawan dari yang muda hingga tua.

Sejarah yang Dibungkam

Setelah kita sepekati arah perjalanannya dari kampus UGM ke Imogiri, perjalanannya memang jauh sekitar 2 jam untuk bisa mendatangi makam raja-raja kesultanan Mataram, sekaligus kita menziarahi sultan Girilaya, seorang turunan Syekh Sunan Gunung Djati yang wafat di Jawa Tengah.

Jalanan demi jalanan kita lewati dari tatanan kota yang setengahnya modern dan setengahya tetap menyimpan tata kota masa lalu, dengan khas peninggalan-peningglannya: sangat apik dan penuh dengan tata ruang kota yang indah. Maka wajar kalau kota ini menjadi pelipur lara dari setiap yang mengunjunginya dengan tujuan intelektual, tujuan bersenang-senang, tujuan mencari kenangan-kenangan dan lainnya.

BACA JUGA:  Mencetak Kader Penggerak Masyarakat Desa

Sampailah kita ke Imogiri, setelah ngopi di penjual jajanan yang biasa terdapat hampir di semua wisata religi, maka kita meneruskan langsung memasuki area pemakamannya.

Kalau boleh kita deksripsikan, Makam Imogiri Yogyakarta merupakan makam raja-raja Mataram terletak di perbukitan Imogri Bantul. Makam Raja ini merupakan bukit yang dapat dilalui dengan menaiki anak tangga berjumlah sekitar 409.

Makam ini memang diperuntukkan untuk makam raja dan kerabat kerajaan Mataram Islam beserta keturunannya. Masyarakat Jawa meyakini bahwa gunung atau bukit dapat menyimbolkan status sekaligus merupakan upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Sesampainyanya di dalam kompleks pemakaman, kita menanyakan tentang proses singkatnyya sejarah makam tersebut. Menurut cerita yang berkembang atau turun temurun, memilih perbukitan yang dinamai Pajimatan Girirejo untuk membangun makam raja ternyata mempunyai cerita sejarah sendiri.

Menurut masyarakat setempat, sewaktu Sultan Agung sedang mencari tanah yang akan digunakan untuk tempat pemakaman khusus sultan dan keluarganya, beliau melemparkan segenggam pasir dari Arab. Pasir tersebut dilempar jauh hingga akhirnya mendarat di perbukitan Imogiri. Atas dasar itulah selanjutnya Sultan Agung membangun makam raja di Imogiri.

Pada tahun 1632 M, kompleks makam Imogiri mulai dibangun oleh arsitek yang bernama Kiai Tumenggung Tjitrokoesoemo atas perintah dari Sultan Agung. Selang 13 tahun kemudian, pada tahun 1645 Sultan Agung wafat dan dimakamkan di Imogiri.

Saat memasuki lokasi makam raja tersebut, aroma kembang bercampur dupa seakan menyambut kedatangan para pengunjung. Abdi dalem Keraton hampir setiap hari meletakkan sesajen khusus di makam tersebut. Menurut keterangan juru kunci makam raja tersebut, makam Sultan Agung selalu harum semerbak dikarenakan beliau sekarang sudah sampai tingkatan waliyullah (kekasih Allah).

Di tempat ini selain makam Sultan Agung, dimakamkan juga 23 raja keturunan Sultan Agung, makam dinasti Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakara. Makam raja-raja ini dibagi menjadi 8 kelompok yaitu: Kasultanan Agungan (Makam Sultan Agung, pemaisuri, Hamangkurat Mas dan Hamangkurat Amral), Paku Buwanan (Makam Paku Buwono I dan Paku Buwona II dan Hamangkurat Jawi), Kasuwargan Yogyakarta (Makam HB I dan HB III), Besiyaran Yogyakarta (Makam HB IV, HB V dan HB VI) Saptorenggo Yagyakarta (Makam HB VII, HB VIII dan HB IX), Ksuwargan Surakarta (Makam PB III, PB IV dan PB V) Kapingsangan Surakarta (Makam PB VI, PB VII dan PB IX) Girimulya Surakarta (Makam PB X, PB XI dan PB XII ).

Setelah selesai kita mengunjunginya makam-makam tersebut, baru kemudian kita istrahat karena aktivitas tersebut memberikan arti tersendiri bagi kita. Setelah menyelesaikan salat Maghrib, kita meneruskan perjalanan untuk menziarahi makam Pangeran Girilaya, yaitu seorang pangeran keturunan Cirebon yang meninggal di sana. Masyarakat setempat mengenalnya dengan pangeran Giriloyo atau biasa disebut juga dengan Sunan Cirebon.

BACA JUGA:  Mensos Targetkan 2017 Tak Ada Penderita Psikotik yang Dipasung

Makam Giriloyo dibangun pada tanggal 1 Februari 1788 M. Pasareyan Giriloyo terletak di arah selatan Keraton Yogyakarta (+ 17 km), tepatnya di wilayah Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.

Di dalam Situs Makam Giriloyo terdapat beberapa bangunan. Area makam ini terbagi menjadi tiga di mana masing-masing makam dikelilingi oleh pagar tembok bata. Halaman I terdapat 33 makam, 22 makam tidak diketahui identitasnya sedang lainnya adalah makam Sekaran Tiban (makam Sultan Agung dalam bentuk rohani), Kyai Guru Desti, Ngabehi Lor, Pangeran Haryobroto, Raden Tumenggung Haryobroto, Raden Adipati Banyuwangi.

Karena pada malam hari kita baru sampai di lokasi makam Giriloyo, tepatnya ba’da Magrib. Setelah kita ke atas yang diawali “tanjakan” atau tangga dan sebuah masjid serta tempat menunggu para peziarah. Untuk menuju makam, peziarah harus menaiki tangga berikutnya.

Sesampainya di lokasi makam, keadaan gelap gulita karena tidak ada penerangan di lokasi tersebut. Dan hal itu tidak “sesuai” layaknya makam-makam pangeran. Karena kalau situs makam-makam lainnya terdapat penerangan lampu.

Menjadi sebuah catatan tersendiri, mengapa makam seorang menantu Sultan Agung keadaanya demikian. Dimana orang yang akan ziarah kapan pun semestinya mendapat penerangan yang layak.

Catatan tersebut tentu tak berlebihan. Karena dalam silisalah Cirebon, Pangeran Giriloyo adalah turunan Sunan Gunung Djati. Silsislahnya adalah sebagai berikut: Sunan Gunung Jati, Pangeran Pasarean, Pangeran Dipati Carbon, Pangeran Emas (panembahan ratu I), Panembahan Adiningkusumah, Pangeran Rasmi atau Abduk Karim (Panembahan Ratu II), Panembahan Giriloyo.
Sedangkan sejarah yang kita terima versi Cirebon, Panembahan Giriloyo pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram.

Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Panembahan Giriloyo adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo). Sedangkan Mataram di lain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Giriloyo dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Giriloyo di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Akan tetapi setelah pemberontakan Trunojoyo, maka Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya pulang ke tanah Carubah dan akhirnya menjadi Sultan I Kasepuhan dan Sultan ke I Kanoman.

Hal itu lah yang kemudian kita melihat bahwa ada sesuatu dengan penguburan pangeran Giriloyo di tempat itu. Tetapi sejarah adalah sejarah: terkadang menyimpan misteri dan sesuatu yang harus digali. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *