Pilkada dan Sengketa Politik

  • Bagikan
politik
Ilustrasi

Oleh BINTANG IRIANTO

PEMILIHAN kepala daerah 2018 sudah terlaksana di semua daerah, termasuk perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat daerah sampai dengan Provinsi berjalan sesuai jadwal.

Kita tahu, berpolitik merupakan hak setiap warga negara, dimana hak tersebut dilindungi oleh Undang-Undang yang menjadi dasar.

Salah satu pelaksanaan hak tersebut adalah dalam pemilihan kepala daerah. Peraturan negara dalam bentuk UU politik menjelaskan tentang hak itu. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) 1948, terkhusus Konvenan Hak-Hak Politik dan Sipil (1996) yang telah diratifikasi Indonesia (2005), salah satu pasal dalam kovenan itu menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak politik (hak dipilih dan hak memilih) dalam pemilu.

Di Indonsia sendiri International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa disingkat ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik, yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan dalam mengikat secara hukum dan penjabarannya dan pokok-pokok lain yang terkait.

Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 6 BAB dan 53 pasal, dan ratifikasi di Indonesia sendiri dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Politic Right (Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik), juga dengan dilakukannya deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Institute For Criminal Justice Reform, 2012).

Dari penjelasan di atas, memang kita dapat menempatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak sipil, demi partisipasi masyarakat. Hal ini juga dijelaskan pada UU RI Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Bila diamati, masyarakat di pemilihan kepala daerah sekarang ini mempunyai semangat yang sangat luar biasa, sebagai bentuk berjalannya demokrasi serta yang mempunyai hak kuasa sebagai pemilih. Nampak keterlibatan dan gotong royong terlihat saat mereka mendukung paslonnya dengan memasang benner, baligho serta kampanye di jalan-jalan. Sehingga sangat terasa geliat semangat berpolitik sampai tingkat masyarakat kelas bawah.

Ini bisa terlihat, diskusi politik yang biasa dilakukan di banyak forum untuk menilai calon-calon yang akan dipilih sudah menjadi obrolan di warung kopi, dengan cara pandangnya sendiri. Ini artinya bahwa semangat berpartisipasi sudah meningkat dalam perhelatan lima tahunan ini.

BACA JUGA:  Kebijakan Ruang dan Segregasi Sosial

Juga di media sosial, apakah itu Facebook, IG, dan Twitter semua isinya visi dan misi yang terus digelorakan oleh para pengguna sosial, untuk memperkenalkan paslonnya yang maju dalam Pilkada. Ini menandakan bukan saja ramai geliat masyarakat yang mulai melek politik di dunia nyata, seperti di warung-warung kopi sampai Cafe, akan tetapi juga di dunia maya (medsos). Sepertinya persoalan Pilkada ini sangat mendominasi semua berita dan kabar-kabar lainnya.

Makanya kemudian, gegap gempita Pilkada ini sangat terasa, dan akhirnya menjadi sesuatu yang menumbuhkan sikap pendukungan massif dari setiap masyarakat terhadap paslonnya. Pada persoalan pendukungan massif ini, muncul kemudian polarisasi politik sampai ke tingkat bawah karena keinginan agar paslonya menang, dan memang sangat menegangkan bila kemudian situasi politik tidak kondusif.

Sehingga, ketika perhitungan suara terjadi melalui Real Count atau Keputusan dari institusi paling bawah seperti PPS, PPK dan KPU, prosesnya alot dan beberapa persoalan akhirnya muncul berkaitan dengan proses berjalannya pemilihan dan perhitungan, sehingga wajar kemudian para saksi paslon kemudian menyelamatkan C1 sebagai pembuktian bila kemudian dalam perhitungan terjadi sesuatu yang tidak mengindahkan demokrasi.

Bayangkan saja, bahwa banyak Tim Pemenangan Pilkada yang sudah mempunyai real count, sehingga kemudian ketika hasil itu menyebar pada media sosial membuat masyarakat bingung.

Selesaikan Sengketa Politik Melalui Gugatan

Satu cara andai kemudian paslon yang kalah tidak menerima keputusan suara perhitungan di KPU adalah melalui gugatan hukum. Hal ini dilakukan agar kemudian proses-proses politik yang terjadi bisa diselesaikan melalui jalur dan mekanisme sistem aturan main yang telah ada dan berlaku. Dengan cara seperti ini juga, bahwa ‘rule of the game; sebagai proses penyelesaian berjalan dengan baik sebagai fungsinya, karena dengan menggunakan kekuatan hukum sebagai bentuk mencari keadilan, maka ruang dan mekanismenya tersedia. Selaiin itu juga, melalui mekanisme hukum maka permainan politik ini tidak liar dan pada akhirnya berdampak pada kondisi dan situasi yang tidak kondusif. Maka kemudiaan menjadi wajar, langkah hukum ada jalan keluarnya dari pada kemudian melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang banyak.

BACA JUGA:  Panglima TNI Ziarah ke Makam Sesepuh Ponpes Buntet Cirebon

Ada banyak instrumen yang bisa dilakukan untuk proses penyelesaian hukum yaitu seperti Panwaslu, DKPP, Kepolisian, PTUN dan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui institusi ini, semua persoalan yang dianggap menjadi masalah terdapat penyelesaiannya dan pada akhirnya akan memberikan kepuasaan hasil dari prosesnya. Melalui sistem dan rangkaian mekanisme tersebut, sebenarnya negara memberikan ruang-ruang demokrasi dengan mengdepankan keadilan pada tata dan cara ruang penyelesaian, sehingga pergulatan politik Pilkada 2018 tidak liar dan akhirnya berdampak kepada kerugiaan yang lebih besar.

UU RI Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah lengkap mengatur semua proses pelaksanaan pemilu. Terjadinya pelanggaran hingga kemudian penindakan. Artinya, bahwa semua mekanisme melalui UU pemilu sudah menjelaskan dan menjadi pedoman bagi penyelesaian sengketa politik, ketika harus mengambil proses hukum. Selain kemudian ada aturan-aturan hukum lainnya melalui pasal-pasal yang menjadi rambu-rambu atau aturan main lainya.

Mari Kita Menghargai Aturan Main

Melihat perkembangan politik Pilkada yang sangat dinamis tersebut, maka seyogyanya paslon yang kalah dapat menerima keputusan yang sudah dilakukan oleh aturan hukum yang berlaku, karena dalam setiap keputusan hukum tentunya terdapat aturan yang mengikat.

Karena hal tersebut, bahwa proses keputusan tersebut adalah merupakan proses yang sangat panjang dan menjadi pijakan bersama, dan tentunya harus diterima dengan lapang dada.

Oleh karenanya, melalui proses yang sudah ada kita percayakan bahwa demokrasi ini sedang berlangsung melalui pranatanya dengan menjelaskan semua persoalan dan kedudukannya di mata hukum. Karena dengan demikian kedewasaan politik kita mulai terarah kepada proses demokrasi yang lebih baik yaitu tertata, rapi, dan teratur.

Dengan begitu, kita telah menyepakati bahwa Hukum sebagai Panglima untuk menyelesaikan semua persoalan kebangsaan kita termasuk di dalamnya adalah masalah pemilu yang sudah kita lewati sekarang ini.

Dengan demikian, ketika keputusan hukum menempatkan kepada paslon yang jadi, maka sudah menjadi keharusan bahwa kita kembali untuk bersama-sama membangun daerah, membangun bangsa dan membangun negara dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat. Maka dari itu kita percaya, bahwa tahapan-tahapan demokrasi sudah berlangsung dengan baik. Wallahu ‘Alam Bishawab

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *