Sungguh Aneh tapi Nyata, Pengguna Narkoba Tak Dipidana

  • Bagikan
Ilustrasi

Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)

KEBIJAKAN penyalahgunaan narkoba di Indonesia dinilai masih perlu perbaikan. Korban penyalahgunaan narkoba diminta tak dipidana. Dikutip Jabarnews.com, “Pengguna dan pecandu itu korban, mereka harus disembuhkan bukan dihukum dalam sel. Undang-Undang Narkotika sudah mengarah pada kebijakan ini tapi implementasinya masih belum konsisten,” kata Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem Taufik Basari di Jakarta, Sabtu (27/6/2020).

Taufik menilai hukum pidana untuk pecandu narkoba bukan hal bijak. Pidana tidak bisa membuat pecandu narkoba sembuh. Ketika hukuman pidananya selesai para pecandu biasanya kembali mengonsumsi narkoba. Pemberian hukum pidana bagi pecandu narkoba juga mengakibatkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sesak. Tercatat, pada 2015 sampai 2019 narapidana narkoba mencapai 123.337 orang atau 47 persen total keseluruhan penghuni Lapas.

“Sungguh aneh tapi nyata”, bukan sekadar lirik lagu, namun inilah kondisi hukum kita. Mungkin kita jadi bertanya-tanya, mengapa sudah ada yang ditangkap, kok malah semakin banyak yang pakai? Namun, yang pasti, ada yang salah dengan sistem hukum di negeri ini, yang membuat pelaku maksiat justru bertambah banyak.

Bagaimana orang takut memakai narkoba, jika hukumannya hanya direhabilitasi saja, disembuhkan dari ketergantungannya terhadap narkoba? Kalaupun dipenjara, hitungannya hanya bulan, paling banter setahun dua tahun saja.

Inilah yang aneh dalam sistem hukum kita. Ada paradigma bahwa pelaku maksiat adalah korban, sehingga seringkali malah mereka dibebaskan. Dalam kasus miras, hanya penjual yang bisa dihukum, sementara para peminumnya bebas, bahkan dalam kasus keracunan miras oplosan, pemerintah kadang menanggung biaya pengobatannya.

Dalam kasus prostitusi, mucikari yang dikenakan hukuman, sedangkan pelacurnya, penggunanya, bebas melenggang. Begitu pula dalam kasus video porno, yang diburu adalah penyebarnya, bukan pelaku perbuatan tak senonoh ini. Bila kemudian para penjaja seks ini terkena AIDS, pemerintah justru memberikan fasilitas pengobatan, memberikan kondom untuk mencegah penularan, dan mengkampanyekan untuk tidak menjauhi mereka.

BACA JUGA:  Kotaku: Reorientasi Pembangunan Kota Cirebon

Dengan paradigma semacam ini, bagaimana maksiat akan diberantas? Jika permintaan terus ada, maka penawaran pasti akan bermunculan. Jelas yang seperti ini berbeda secara diametral dengan penanganan Islam terhadap pelaku maksiat.

Dalam Islam, pelaku maksiat tidak cukup dicap sebagai pendosa di sisi Allah. Untuk mereka disediakan hukuman tertentu. Pelaku zina dijilid atau rajam, pemabuk dicambuk, pecandu narkoba ditetapkan hukuman ta’zir (penetapan oleh hakim), dan sebagainya. Hukuman semacam ini tampaknya memang kejam, namun kita perlu menengok hikmahnya.

Kengerian terhadap hukuman ini akan mampu mengerem para calon pelaku maksiat sehingga membatalkan aksinya. Sementara bagi pelaku, hukuman yang diterimanya akan menjadi penebus dosa baginya. Inilah makna hukum pidana dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). (Abdurrahman Al Maliki, 2002, Sistem Sanksi dalam Islam)

Ironisnya, penguasa kita yang notabene Muslim, bukan saja tidak mau mengambil hukum Islam, bahkan mendiskreditkan Islam dan seolah dijangkiti fobia terhadap Islam.

Pernikahan muda yang memungkinkan menutup pintu zina malah dikriminalisasi saat pelaku zina difasilitasi dengan penyediaan kondom dan penyuluhan seks sehat.

Sungguh aneh tapi nyata. Inilah sistem hukum kita. Melihat fakta seperti ini apakah kita masih merasa tidak ada yang salah dengan sistem hukum kita? Afalaa tatafakkaruun? Tidakkah kalian mau berpikir?

Wallahu a’lamu bishshawab. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *