Oleh : Eva Nur Arofah
Diam-diam, tanpa sepengetahuan Kang Alwy, pada banyak hal saya menjadikan Kang Alwy sebagai panutan hidup. Sikap hidupnya yang konsisten, tegar, penuh empati, kritis, juga dedikasinya terhadap pengetahuan menjadi daya tarik tersendiri.
Kalimat Kang Alwy seperti,kerjakan segala sesuatunya dengan “titen, geten, dan telaten (teliti, fokus, dan telaten)” bagi saya sama bernasnya dengan “man jadda wa jadda”. Atau kalimat Kang Alwy yang mengingatkan saya untuk berderma, “ayo bu, kita pancing Tuhan dengan sedekah biar ditambah rezeki kita” adalah bentuk verbal yang lain dari dari cara kami mensyukuri pemberian Tuhan.
Tentu saja sikap-sikap di atas dibarengi juga dengan sikap Kang Alwyusil dan tengil, suka mengolok-olok, sedikit sombong, dan terkadang seenaknya sendiri.
Hari-hari selanjutnya, sebagaimana rumah tangga pada umumnya, kami menghabiskan waktu dengan menjalankan aktivitas masing-masing untuk kemudian berkumpul kembali di rumah. Perbedaannya, rumah kontrakan kami di Kanggraksan dan Gria Sunyaragi Permai (GSP) tidak pernah sepi dari tamu, siang-malam.
Kesan saya, di manapun Kang Alwy berada selalu diburu. Tempat tinggal kami tidak ubahnya sebagai forum diskusi non stop 24 jam dengan topik semua ada, semua bisa dibincangkan, dari persoalan politik yang serius hingga humor dan lelucon aneh tetapi segar dan mengasyikan.
Sampai batas tertentu, terkadang saya merasa Kang Alwytidak adil terhadap dirinya sendiri karena memberi porsi yang terlalu besar untuk orang lain.
Ini bagian yang menjengkelkannya, Kang Alwy seolah tidak peduli dengan permintaan dan sindiran saya sejak beberapa tahun lalu, agar Kang Alwy segera menerbitkan buku, “masa sastrawan angkatan 2000 bukunya baru satu, itu pun tebalnya nggak beda dengan undangan nikahan”…., demikian sindir saya.
Tapi itulah Kang Alwy, selalu bisa mengelak dengan mengatakan, “tenang saja, orang-orang tau ko’, kalau saya terus berkarya”….. Akhirnya, saya memilih diam.
Perjalanan hidup kami kemudian memasuki tahap yang paling membahagiakan, kelahiran Mohamad Kresnajati. Kresna membuat keluarga kami semakin semarak, setelah sebelumnya ada Awalina Rifki Aulia dan Muhamad Tsani Ghifari, kakak-kakaknya Kresna.
Kresna juga yang kemudian membuat kami, Bubu dan Bapa’ nya memutuskan untuk pindah ke Balerante, sekalian menemani mimi yang semakin sepuh.Hari-hari kemudian berjalan sebagaimana yang kami harapkan, Kresna tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria, sementara kami, orang tuanya tetap beraktivitas sebagaimana biasanya.
Memasuki usia dua tahun, Kresna kecil sudah diharuskan mengalah demi orang tuanya yang kembali memasuki bangku kuliah. Tiga hari dalam seminggu kami berada di Bandung berkutat dengan perkuliahan, dan sisanya kami habiskan hari-hari di Cirebon.
Sesekali kami ajak Kresna ke Bandung untuk sekadar bermain di kebun binatang atau melihat sapi perah dan meminum susu sapi segar, di peternakan sapi yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Menyenangkan sekali…. (bersambung)