Oleh Dadang Kusnandar*
KERETA api kelas super ekonomi dari Tanjung Priok ke Jatiluhur Purwakata saat itu padat penumpang. Dipatok tarif ke semua stasiun tujuan penumpang @ Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) banyak penumpang yang berdiri. Panas sudah pasti, bau keringat dan aneka aroma lain tersebar. Juga obrolan sesama penumpang.
Selasa 8 Agustus 2017 dari stasiun kereta api Kemayoran Jakarta (usai naik commuter line dari Bogor) bersama anak dan istri naik KA Jatiluhur 330 A dengan tujuan Karawang. Jam menunjuk ke angka 19.23 WIB.
Ratusan penumpang saling saling desak naik berharap dapat kursi. Karuan lelaki bertubuh kekar masuk lebih awal ketimbang perempuan dan lelaki kerempeng. Cukup sulit juga saya naik karena menenteng travel bag cukup berat.
Menikmati naik sepur murah ternyata asik. Bagi penumpang yang suka berkomunikasi naik KA ekonomi menguntungkan. Beragam masalah bisa dibincangkan sepanjang perjalanan. Lelaki muda dengan perempuan paruh baya ngobrol soal pekerjaan yang digeluti. Sedikit saya menguping perbincangan keduanya. Bagus juga, keduanya meski baru kenal akan meneruskan obrolan itu via komunikasi digital karena mereka pengguna sosial media. Ada pula perempuan muda yang berbincang tentang hal-hal ringan seputar proses kenal mengenal dengan orang di sekitar kursi duduknya. Yang pasti di KA murah ada interaksi sesama penumpang. Beda jauh bila menggunakan sepur eksekutif.
Entah dari stasiun mana, lelaki paruh baya masuk memapah pundak seorang perempuan. Di bordes ia minta maaf untuk diberi jalan masuk ke dalam gerbong.
“Kenapa pak?”.
“Pingsan”, jawab lelaki itu singkat.
Beruntung penumpang yang duduk di kursi untuk tiga orang seketika berdiri dan mempersilakan keduanya duduk. Penumpang sontak ingin tahu apa yang terjadi. Banyak lelaki mendekat dan bertanya itu ini. Ibu-ibu mengeluarkan minyak oles sejenis kayu putih, seorang bapak memberikan Vic oles berukuran kecil. Istri saya memberi sepotong roti dan sebutir jeruk. Ada yang memberi teh manis dari termos kecil. Ada ibu-ibu PNS yang mengoleskan minyak sambil mengurut beberapa bagian tubuh perempuan pingsan itu. Alhamdulillah akhirnya siuman juga.
“Itu teman bapak?”.
“Istri saya”.
“Oh maaf”.
Penumpang itu melanjutkan, “Ini dari Tambun, siapa yang kenal?”.
Beberapa lelaki muda yang sempat mendesak ke dekat bordes serempak, “Oh…istrinya”, lalu duduk kembali di kursinya. Tidak memberi bantuan apa pun.
Kelucuan lain ialah tiga perempuan seumur belasan yang duduk di depan kursi wanita pingsan itu tidak bergeming. Mereka asik dengan dirinya. Padahal di depan ketiganya ada orang yang butuh pertolongan, dan saat itu dua orang ibu tengah memberi pertolongan dalam posisi berdiri.
“Mbak maaf ya bisa berdiri, biar kaki ibu ini selonjoran ke situ”. Barulah mereka mau usai saya ucapkan kalimat permohonan tadi.
Usut punya usut perempuan itu pingsan mengejar kereta sesaat setelah turun dari ojek motor. Belum makan seharian, malah kata suaminya susah makan.
Mendekati stasiun Tambun perempuan itu masih agak rewel, mungkin belum pulih benar. Akan tetapi beruntung bisa turun dari kereta api Jati Luhur 330 A di Tambun.
Naik kereta api murah sesekali perlu Anda lakukan. Akan selalu ada kisah sepanjang perjalanan. Kisah itu antara lain kepedulian secara langsung kepada sesama manusia. Dengan kata lain kultur masyarakat Indonesia dalam hal kepedulian sosial masih terjumpa. Kembali semuanya pada sikap kita manakala terlihat keganjilan di depan bola mata. Menolong, diam, cuek, berpura-pura menolong lalu nyolong, atau apa saja ~kita lah pelakunya.
*Penulis lepas, tinggal di Cirebon