Indramayutrust.com – Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Wiralodra (Unwir) Indramayu menyatakan, survei seismik tak berpengaruh pada keanekaragaman hayati, terutama di Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Namun, masyarakat di desa tersebut meminta adanya solusi.
Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ary Sudijanto, saat ditemui di sela pemaparan hasil penelitian tentang Kajian Dampak Kegiatan Seismik 3D Terhadap Keanekaragaman Hayati di Kabupaten Indramayu, di Ruang Sidum Pendopo Indramayu, Kamis (15/12), mengungkapkan jika dari hasil penelitian IPB, seismik tidak berpengaruh pada keanekaragaman hayati dan tidak merubah kesuburan.
Dalam pemaparan itu, di hadiri kepala desa dan perwakilan masyarakat Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu, Aep Surahman dan Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Indramayu, Muhaemin.
Melalui pertemuan tersebut, pihaknya memang sengaja mengundang kepala desa dan perwakilan masyarakat, untuk menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan IPB itu. Pihaknya menilai jika masyarakat yang hadir tersebut menerima hasil penelitian IPB, meski masih mempertanyakan peristiwa yang terjadi pada 1985.
“Jadi ini forum baik-baik, bukan untuk memaksakan kehendak. Kami sampaikan apa yang kami miliki, mereka (masyarakat, red) juga sampaikan apa yang menjadi kekhawatiran mereka,” terang Ary.
Seperti diketahui, survei seismik pernah dilaksanakan di Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu pada 1985. Bersamaan dengan pelaksanaan seismik itu, tanaman jeruk milik warga setempat mengalami kematian massal. Warga menuding seismik yang menyebabkan hal tersebut.
“Masalah itu sudah ditangani Kemenko Kemaritiman, kami akan menyampaikan pendapat masyarakat dalam masalah tersebut,” jelasnya.
Ketua Tim Peneliti IPB, Agus Priyono Kartono, menyebutkan, ada empat hal yang ditemukan selama penelitian yang berlangsung pada Oktober sampai Desember 2016 itu. Pertama, keanekaragaman hayati yang meliputi keragaman flora dan satwa liar, tidak terpengaruh oleh kegiatan Sesmik 3 Dimensi (3D). Kedua, tidak ada kerusakan pada tanaman jeruk, padi sawah, dan mangga yang diakibatkan oleh rambatan getaran yang bersumber dari kegiatan seismik 3D.
“Ketiga, kegiatan seismik 3D yang menimbulkan getaran pada lapisan tanah tidak berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya perubahan antara kondisi hara tanah pada sebelum dan sesudah kegiatan seismik,” paparnya.
Dan yang keempat, Lanjut Agus, masyarakat kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang organisme pengganggu tanaman (OPT). Akibatnya, perawatan dan pemeliharaan tanaman belum dilakukan secara intensif.
“Jadi tidak ada hubungan antara kegiatan seismik 3D dengan tingkat kerusakan tanaman jeruk, mangga, ataupun padi sawah, kegagalan budidaya tanaman hortikultura, terutama jeruk, lebih diakibatkan oleh serangan penyakit yang telah ada sebelum kegiatan seismik dilakukan,” terang Agus.
Sementara itu, Kepala Desa Segeran, Sutadi, mengaku bisa menerima hasil penelitian yang dilakukan IPB tersebut. Namun, dia mengaku warganya masih trauma dengan kegiatan seismik yang dilakukan pada 1985 silam.
“Untuk sementara masyarakat tetap menolak. Tapi yang pasti harus ada win-win solution. Insya Allah masyarakat akan menerima jika win-win solution bisa diterapkan di desa kami,” tandas Sutadi. (Didi)