Parpol dan Pasar (3)

Oleh DADANG KUSNANDAR*

PARPOL tak pelak terpilih menjadi alat perjuangan melawan kesewenangan. Sejarah mencatat pendirian parpol di tanah air tercinta menandakan terbitnya perlawanan atas kuasa kolonial untuk merdeka serta meraih impian bangsa. Semoga pendirian parpol pada masa kini tetap berpegang pada cita-cita luhur sebagaimana dikisahkan sejarah.

Segera setelah menancapkan cita-cita luhur dimaksud, rekrutmen keanggotaan parpol tetap memperhitungkan pasar. Pasar potensial dilirik. Produk unggulan parpol disajikan kepada calon konstituen dengan cara marketable. Tidak sekadar janji, bualan, dan atau isapan jempol menjelang pesta demokrasi. Juga tidak hanya political cost yang menilai calon pengikut parpol sebagai subordinasi.

Penempatan yang tepat berdasar pola kesetaraan jauh lebih penting sehingga parpol disegani, dan dengan cara itu orang rela masuk menjadi anggota parpol. Pertimbangan logis serta manusiawi pada akhirnya menjalin harmoni antara parpol dengan pengikut. Bertolak belakang dengan itu, parpol akan dicibir lantas digeguyu oleh pasar.

Tali temali parpol dan pasar jelas sekali diketahui khalayak. Publik yang sadar akan hak-hak politik di negeri kita menandakan kuasa pasar. Akan tetapi kuasa pasar tidak serta merta mendominasi parpol. Seperti tertulis sebelumnya, apabila kuasa parpol dan pasar saling mengedepankan egosentralnya masing-masing, jangan harap terjadi simbiosa mutualis.

Kausalitas parpol dan pasar menjadi trendy serta memacu dinamika masyarakat. Pada segmen ini masyarakat tidak lain adalah bagian penting dari parpol dan pasar.
Semakin penting posisi masyarakat pada dua ranah kehidupan ini semakin tampak kedewasaan berpolitik dan berpasar.

Ketika Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Agustus 2016) pada acara televisi Indonesia Lawyer Club (ILC) menyebut Presiden Jokowi goblok ~apa yang terbayang di benak kita? Parpol dan pasar bergejolak. Gaduh. Ketidakpercayaan atas kepemimpinan seorang presiden tersiar merata. Gejolak politik meski sejenak dan bersifat sementara, mengurangi kecenderungan (demand) calon investor menanamkan investasinya di Indonesia.

BACA JUGA:  Bias Dukungan

Era kebebasan bicara di depan publik sejak 1998 menuai kegelisahan pasar. Ironinya era ketertutupan bicara dan mengemukakan pendapat di depan umum sebelum 1998 terbukti pula menuai kegelisahan pasar. Dua sisi perbedaan tajam ini (terbuka-tertutup) berpengaruh langsung kepada pasar. []

*) penulis lepas, tinggal di Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *