Oleh M. ABDUH NUGRAHA, S.H
MENJELANG hari-H Pilkada serentak 2018, yaitu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat serta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Majalengka, yang akan digelar pada 27 Juni mendatang masih banyak sebagian pihak yang mempertanyakan netralitas media massa baik itu media cetak, media elektronik, media online.
Netralitas di sini, baik itu netralitas perusahaannya maupun individu awak media atau wartawannya. Karena di lapangan masih ada yang terselubung maupun terang-terangan, mendukung kepada Paslon tertentu.
Fenomena seperti ini membuat gerah banyak kalangan baik masyarakat umum terutama tim sukses Paslon, yang sebagian masih ada yang beranggapan bahwa keberpihakan media massa bakal berpengaruh terhadap hasil Pilkada.
Hal tersebut tentunya beralasan mengingat ada beberapa figur Calon yang jadi “Media Darling”, dengan sering diberitakan yang tentunya akan berdampak terhadap elektabilitas dan popularitas yang bersangkutan.
Keberpihakan media massa dalam Pemilu ramai disorot pasca Pilpres 2014, dimana terlihat jelas ada kedua kubu Media Elektronik khususnya yang terlihat jelas mendukung kepada dua Calon Presiden saat itu dengan sangat massif, melalui pemberitaannya hingga membuat survei atau polling sendiri yang memenangkan salah satu Capres, walau pun hanya sebatas quick count atau hitung cepat.
Hal ini tentunya membuat prihatin banyak kalangan dimana netralitas dan independensi Pers jatuh kepada titik nadir.
Padahal saat Pilpres 2014, Dewan Pers telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 02/SE-DP/II/2014 tentang Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa dan Seruan Dewan Pers Nomor 01/Seruan-DP/X/2015, tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan dalam Pilkada 2015.
Dalam surat edaran tersebut, Dewan Pers mengimbau wartawan yang maju ke pilkada, pileg, ataupun menjadi tim sukses segera nonaktif sebagai wartawan dan mengundurkan diri secara permanen.
Yang terbaru dalam menghadapi Pilkada serentak 2018, Dewan Pers kembali mengeluarkan Surat Edaran No 01/SE-DP/I/2018 tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, Dewan Pers kembali menegaskan peran pers dalam rangka menjamin kemerdekaan pers dan untuk memenuhi hak masyarakat mendapatkan informasi yang berkualitas dan adil, antara lain:
1. Pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (Pasal 6 Butir a, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).
2. Pers nasional melaksanakan peranannya mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar (Pasar 6 Butir c UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).
3. Pers nasional melaksanakan peranannya melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (Pasar 6 Butir d UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).
4. Pers nasional melaksanakan peranannya memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Pasal 6 Butir e UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).
Selain itu adalah kewajiban bagi setiap wartawan agar selalu bersikap independen, dengan memberitan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani dan menghasilkan berita yang akurat, yaitu yang dapat dipercaya benar sesuai dengan keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi (Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik).
Pers Indonesia juga harus bisa menjadi wasit dan pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksanaan Pilkada dan tidak justru sebaliknya, menjadi “Pemain” yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap media (Butir 4 Deklarasi HPN 2014 di Bengkulu).
Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa dicalonkan ataupun mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah, calon Wakil Kepala Daerah, dan calon Legislatif adalah hak asasi setiap warganegara termasuk wartawan.
Karena itu dengan ini Dewan Pers perlu menegaskan kembali Surat Edaran Dewan Pers No:2/SE-DP/II/2014 tentang Independensi dan Pemuatan iklan Politik di Media Massa, dan Seruan Dewan Pers No.01/Seruan-DP/X/2015 tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan Dalam Pilkada 2015, dengan meminta kepada setiap wartawan yang memilih untuk maju menjadi calon Kepala Daerah atau Wakil calon Kepala Daerah atau calon Legislatif maupun anggota tim sukses partai atau tim sukses pasangan calon untuk:
1. Segera non-aktif sebagai wartawan.
2. Mengundurkan diri secara permanen.
Norma yang berkaitan dengan jurnalis yang mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Daerah / Wakilnya, atau Tim sukses adalah mengundurkan diri secara permanen dari profesi jurnalistiknya. Hal ini dikarenakan dengan menjadi Kepala Daerah Atau Wakil Kepala Daerah atau tim sukses, sesungguhnya seorang wartawan telah memilih untuk berjuang guna kepentingan politik pribadi atau golongannya.
Padahal tugas utama wartawan adalah mengabdi pada kebenaran dan kepentingan publik. Karena itu ketika seorang wartawan memutuskan menjadi Caleg, Calon DPD atau tim sukses; yang bersangkutan telah kehilangan legitimasi untuk kembali pada profesi jurnalistik.
Adanya surat edaran Dewan Pers ini diharapkan dapat mereduksi tingkat keberpihakan media massa, baik secara individu atau pun perusahaan untuk memenangkan Paslon tertentu walau pun dalam praktiknya di lapangan mungkin masih ada wartawan yang nakal dengan menjadi Tim Sukses “terselubung”, karena kedekatannya dengan Calon tertentu.
Simalakama bagi perusahaan Pers dan wartawan karena dalam setiap momentum Pemilu baik itu Pilpres, Pileg maupun Pilkada biasanya “panen” iklan dan advertorial karena faktor kedekatan dengan Calon maupun Partai Politik pengusung. Namun hal tersebut sekarang dibatasi dengan Peraturan KPU nomor 4 tahun 2017, tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Pasal 1 ayat (24) Iklan Kampanye adalah penyampaian pesan Kampanye melalui media cetak dan elektronik berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk lainnya yang dimaksudkan untuk memperkenalkan Pasangan Calon atau meyakinkan Pemilih memberi dukungan kepada Pasangan Calon, yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan di Pasal 5 ayat (30) Iklan kampanye di Media Massa difasilitasi oleh KPU.
Hal ini membuat pemasukan dari iklan dan advertorial dalam momentum Pemilu berkurang bagi Perusahaan Media Massa, karena Paslon hanya mengandalkan iklan yang didanai KPU.
Dengan berbagai pembatasan ini, diharapkan bisa terwujud Pers yang independen, netral dan tetap profesional dalam Pilkada serentak 2018 dengan tetap memberikan informasi yang akurat, berimbang dan melawan hoax atau berita bohong yang banyak tersebar di media sosial.
Perusahaan media massa mainstream baik cetak, elektronik maupun media siber atau online tentunya menjadi garda terdepan dalam memberantas hoax atau berita bohong, yang tentunya sering jadi alat Black Campaign atau Kampanye Hitam untuk mendiskreditkan Paslon tertentu oleh lawan politiknya.
Semoga Pers Indonesia Tetap Jaya!
*anggota Media Center KPU Kabupaten Majalengka di Pilkada Serentak 2018.