Oleh DOAMAD TASTIER*
“Al-QURAN sudah mengatakan demikkian kok. Susah yah kalo ngomong dengan orang yang gak pernah belajar al-Quran,” tweet seorang follower Ustadz Anu saat saya menanggapi tweet Ustadz tersebut ketika dia mengomentari Prof. Quraisy Shihab berkenaan dengan jilbab. Tentu saja ini bukan pertama kalinya saya mendapati ucapan seseorang yang demikian terhadap saya. Dan saya yakin akhir-akhir ini sangat mudah kita menemukan ucapan-ucapan demikian ketika kita tidak setuju dengan pendapat seseorang.
Al-Quran sebagai wahyu Ilahi tentu saja merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa disanggah. Ia merupakan tuntunan dari Allah untuk manusia yang wajib diyakini sebagai kebenaran yang hakiki. Pada tahap ini saya pun meyakini demikian. Namun Alquran yang kita temui saat ini adalah bentuk mushaf yang memakai piranti bahasa. Sifat-sifat bahasa melekat kepadanya. Ia bukan lagi Alquran yang bi la shoutan wa la harfan. Ia sudah mewujud dalam huruf dan suara. Kedua, ada ungkapan bahwa Al-Quran adalah teks mati dan para cerdas cendikialah yang menghidupkannya. Artinya, untuk memahami Alquran kita harus belajar kepada para ulama yang mendalami dan memahami Alquran, ulama sebagai pewaris risalah kenabian. Meskipun tentu saja mereka tidak maksum, namun mereka adalah orang-orang yang mempunyai otoritas terhadap Alquran jika dibandingkan dengan kita.
Saya bukan tidak percaya terhadap apa yang dikatakan Alquran, saya sangat percaya, saya hanya tidak percaya bahwa apa yang orang tuduhkan tersebut sudah sesuai dengan Alquran. Secara singkat, apa yang kita pahami dari apa yang disebut Alquran, tidak lepas dari penyerapan pemahaman Ulama terhadap sebuah teks Alquran. Bahkan mungkin hanya berupa pemahaman pribadi tanpa merujuk pada pemahaman para cendikia sebagai pewaris risalah kenabian. Sehingga sangat tidak bijak jika kita menganggap apa yang kita ucapkan sebagai sebuah kemutlakan yang dimaksudkan oleh Alquran. Hal ini akan menjebak kita mengalqurankan ucapan kita sendiri. Tentu saja ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal.
Ada banyak sekali tafsir. Ada banyak sekali perbedaan dalam tafsir tersebut ketika menjelaskan satu ayat tertentu. Begitu juga berkenaan dengan jilbab yang diperdebatkan. Saya tidak akan menuliskan bagaimana pendapat Prof. Quraisy mengenai jilbab. Namun, saya sangat menyarankan agar para pencaci itu membaca pemikiran beliau baik dalam magnum opusnya, ‘Tafsir al-Misbah’, maupun dalam satu buku khusus yang menjelaskan pandangan beliau tentang jilbab, ‘Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah’.
Suatu ketika seorang kawan berujar, “Qurasy Shihab itu sesat. Tidak sesuai dengan Alquran.” Saya hanya menimpali, “Sudah baca buku-bukunya?” “Belum,” jawabnya. Orang-orang semacam ini sangat banyak sekali. Ini tentu saja sangat mengkhwatirkan. Sebagaimana disebutkan di awal, pertama, dia menganggap ‘ucapannya’ sendiri sebagai Alquran. Kedua, Dia menganggap informasi yang dia dapat dari orang lain sebagai kebenaran yang setara Alquran. Ketiga, Dia menilai satu pemikiran tanpa merujuk pada sumber primer. Wallahu a’lam bi as-Showab![]