Oleh DADANG KUSNANDAR*
BERIKUT ini adalah penuturan S. Komala beralamat di Jl. Tentara Pelajar No. 3 Cirebon mengenai perjuangan Laskar Wanita Indonesia (LASWI). Sebagaimana kerap diungkap peran wanita dalam perang di Indonesia tak lepas dari dapur umum, kurir obat-obatan atau tulis ke pedalaman, juga sebagai inforwoman.
Menurut S. Komala seluruh anggota LASWI juga bisa menggunakan senjata api dan hanya digunakan untuk mempertahankan diri. Artinya dalam kondisi darurat atau terpaksa. LASWI juga ikut latihan menembak. Sejak Clash I banyak kaum wanita yang terdiri dari pelajar putri dan ibu rumah tangga laskar wanita (yang tinggal di kota) membantu tentara yang berada di pedalaman/ gunung. Dengan keberanian dan kobar semangat mereka tidak takut kepada tentara Belanda.
Kegiatan kaum wanita itu dikenal dengan nama ondergronce (gerakan bawah tanah). Letnan Supomo dari ALRI dan Letnan Djuber Arbina dari Angkatan Darat menugaskan saya bersama Tati, Saadah dan Siti Hasanah untuk mengusahakan segala kebutuhan tentara yang ada di pedalaman. Cirebon akhir tahun 1947 suasananya cukup mencekam. Alat tulis, obat-obatan, peluru, dan sebagainya harus tersedia di kamp pengungsian tentara di pedalaman.
Tugas ini terasa berat namun berkat bantuan teman-teman putri lainnya, kami dapat melaksanakan tugas tersebut. Saya dan Siti Hasanah juga berstatus Tentara Pelajar dibawah komando Salamun AT. Pengiriman perbekalan ke pedalaman juga disertai informasi dari kota mengenai situasi dan kekuatan musuh.
Obat-obatan diperoleh antara lain berkat bantuan Mantri Djohan dan Mantri Iso di RSUP Kesambi. Dudung dan Entjam dari RS Pamitran pun turut membantu perolehan obat-obatan. Alat tulis dan kantor dari Djamhir dari kantor PU Cangkol dan Kahpi pegawai pemkab Cirebon. Sedangkan peluru didapat dari Inspektur Loodvan (saat itu tinggal di Jl. Kesambi No. 53).
Suatu saat Komala mengayuh sepeda mengirim peluru dan sebagainya ke Pecilon melewati penjagaan pos Belanda di Sunyaragi. Salam dalam bahasa Belanda dan memberi beberapa sisir pisang, menyelematkannya dari penggeledahan tentara Belanda. Di perjalanan memasuki Pecilon, Komala mengikuti seorang kurir tanpa bicara sepatah kata pun, lalu diantar ke rumah Kuwu/ Kepala Desa. Di situ Letnan CPM Imam Sayogo mengatur strategi berikutnya.
Kemampuan berbahasa Belanda pun menunjang kegiatan mata-mata yang dilakukan LASWI. Sesekali anggota LASWI ngobrol dengan tentara Belanda, bahkan di markas pasukan Belanda di Kejaksan. Tentu saja informasi terkini bisa diperoleh. Pasukan Belanda menyangka bahwa kami bukan orang Republik.
Beth Keisher, polisi militer Belanda berdarah campuran Jerman, ternyata mengerti perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Itu sebabnya kami tidak segan bercerita segala sesuatu yang rahasia. Misalnya jika ada tawanan (tentara RI) dipukuli.
Masalah yang cukup merepotkan ialah patroli Belanda ke rumah bertepatan dengan adanya tentara dari pedalaman. Untuk mengelabui patroli itu biasanya menyamar sebagai pedagang arang, bawang dan lain-lain. Belanda tidak curiga karena rumah kami adalah warung asinan, kue, dan bubur. Setiap minggu pasti kurir datang membawa pesanan. Surat menyurat pun menggunakan kode/ sandi.
Tentara luar kota yang pernah menginap di rumah kami antara lain Letnan Soepomo dan Letnan Zawir dari AL. Selama menginap mereka tidak pernah bicara. Komunikasi dilakukan lewat surat memakai kode. Rumah kami selalu didatangi patroli Belanda.
Tentara Pelajar yang suka bertandang ke rumah kami antara lain S. Tirta, Muhaer Rifqi, Sersan AL Djoenadi, Sersan Sawal dari AD. []
* Penulis lepas, tinggal di Cirebon.