Cirebontrust.com – Agenda sidang ke-8 gugatan Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) atas surat Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat, telah memasuki tahap sidang peninjauan setempat oleh Hakim Pengadilan Tinggi tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Surat keputusan bernomor 60/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1×1000 MW Cirebon Kecamatan Astanajapura, dan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, oleh PT Cirebon Energi Prasarana tertanggal 11 Mei 2016,
Diungkapkan Wahyu Widianto dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) Jabar, gugatan masyarakat adalah dengan diterbitkannya izin lingkungan PLTU Cirebon 2 berdampak pada kerugian atau setidaknya potensi ancaman kerugian yang lebih besar akan diderita oleh masayarakat, atas hilangnya mata pencaharian dan sumber kehidupan mereka.
Ia melanjutkan, kehidupan masyarakat Desa Kanci Kulon yang hampir semua penduduknya bergantung pada hasil laut, akan semakin terdesak dan terpaksa beralih profesi menjadi pekerja kasar tanpa keahlian yang mereka miliki.
Rencana lokasi pembangunan PLTU Cirebon 2 yang tepat bersisian dengan PLTU Cirebon 1, lanjut Wahyu Widianto, jelas akan berdampak signifikan dan akan semakin menggusur dan meminggirkan masyarakat dalam usaha penghidupannya yang sangat bergantung dengan hasil pesisir dan laut.
“Tidak hanya ancaman perubahan secara fisik tetapi juga ancaman jangka panjang terjadinya degradasi kualitas lingkungan, yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup masyarakat setempat,” tuturnya.
Dirinya menambahkan, PLTU 1 sudah mengakibatkan masyarakat kanci kulon tidak bisa lagi memperoleh kerang, ikan dan udang di daerah pesisir kanci kulon.
Diketahui, sidang setempat yang digelar selama 2 hari pada Kamis-Jumat tanggal 2-3 maret 2017 oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di lokasi, setidaknya ingin melihat beberapa fakta antara lain, pertama terkait dengan tata ruang, hal ini sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran peraturan daerah rencana tata ruang wilayah Kabupaten Cirebon, yang akan berujung pada sah atau tidaknya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat.
Sebagaimana diatur dalam Undang–undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan pasal 4, yang menyebutkan bahwa lokasi rencana usaha dan atau kegiatan wajib sesuai dengan tata ruang.
Karenanya, Wahyu Widianto menegaskan jika terjadi ketidaksesuaian antara lokasi rencana kegiatan usaha dengan rencana tata ruang wilayah, maka dokumen AMDAL tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada pemrakarsa.
“Artinya Izin Lingkungan yang diterbitkan pemerintah provinsi Jawa barat cacat hukum, dan harus dibatalkan,” terang Wahyu Widianto, Walhi Jabar, Kamis (02/03).
Kedua, lanjut Wahyu Widianto, hakim ingin mengetahui keadaan para penggugat sebagai nelayan, pencari rebon dan kerang serta pembuat terasi apakah mereka memenuhi syarat dan memiliki hak mengajukan gugatan.
“Kami berharap kepada para hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar lebih jeli melihat dan memastikan ketergantungan dan keterkaitan antara subjek dan objek sengketa secara adil dan berperikemanusiaan,” tambahnya.
Ketiga, terkait dengan dampak kerugian dan potensi ancaman kerugian lebih besar yang akan dialami oleh masyarakat apabila PLTU Cirebon 2 tetap dibangun diwilayah tersebut. Hakim ingin memetakan potensi kerugian baik secara lingkungan dan ekonomi, seberapa dekat dengan pemukiman dan kebergantungan masyarakat atas wilayah pesisir dan kelautan atas kehidupan masyarakat setempat.
“Kami juga berharap hakim melihat kasus ini secara luas, khususnya aspek lingkungan hidup dan kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan isu perubahan ikilim,” ujarnya.
Sementara, Dwi Sawung, Walhi Nasional mengatakan, bahwa Pemerintah Indonesia telah berjanji dan berkomitmen untuk menurunkan emisi dari sektor energi. Berdasarkan draft NDC (Nationally Determined Contribution) sektor energi diharapkan menyumbang 15,87 persen penurunan emisi di bawah skenario penurunan emisi 29 persen, dan 18,76 persen di bawah skenario penurunan emisi 41 persen.
“Kebijakan untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan tidak hanya menabrak peraturan perundangan dan mengabaikan hak dan keselamatan warga, tetapi juga bertentangan dengan Undang–undang Nomor 16 tahun 2016, tentang persetujuan Paris atas konvensi kerangka kerja persatuan bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim,” tukasnya. (Riky Sonia)