Filosofi Arsitektur Tionghoa

  • Bagikan

Oleh JEREMY HUANG WIJAYA

KEDATANGAN Masyarakat Tionghoa dari Tiongkok sejak abad ke 3, yakni sejak terdamparnya pendeta Budha Fai Xian ketika perjalanan pulang dari India menuju Tiongkok, karena kapalnya terhempas di Jawa. Tetapi sampai saat ini belum ada referensi dimanakah tepatnya Fai Xian terdampar.

Sejak saat itu banyak orang Tiongkok (China) yang datang ke Jawa. mereka mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan di Tarumanegara dan kerajaan di Jawa. Pada abad ke 3 terjadi hubungan dagang warga Tiongkok dengan kerajaan Tarumanegara.

Berdasarkan Deskripsi Catatan di Tiongkok, Tarumanegara dikenal dengan nama Ho lo tan. Dari situlah mereka membangun rumah singgah di tempat perantauan. Kedatangan mereka selalu rombongan bersama kawan-kawan bisnisnya. Mereka membangun rumah singgah sebagai tempat berteduh dan beristirahat, untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Umumnya mereka membawa kim sin-kim Sin.

Menurut WP Zhong, mantan dosen Arsitektur Universitas Tarumanegara, semasa hidupnya pernah menjelaskan bahwa pada umumnya Rumah-rumah Kuno masyarakat Tionghoa mengacu dan berlandaskan pada Ajaran Kong Hu Cu. Dan Arsitektur rumah masyarakat Tionghoa berdasarkan pada lingkungan alam.

Menurut Hendra Lukito yang juga pernah mengajar Arsitektur di Universitas Tarumanegara, menjelaskan bahwa pada umumnya rumah kuno masyarakat Tionghoa yang dibangun sebelum tahun 1900an, selalu berporos pada Poros utara selatan, karena chi yang datang dari selatan khatulistiwa, dan ada dinding pelindung, yang di tata berorientasi ke dalam. Hal itu mengandung makna sebagai pelindung keluarga dan mensejahterakan keluarga berdasarkan ajaran kong hu cu. Karena keluarga adalah pokok utama.

Kong Hu Cu sendiri mengajarkan jika tiap keluarga kuat dan sejahtera, maka negara juga akan menjadi kuat dan sejahtera. Selain itu, di ruang tengah ada sumur langit yang disebut tien chong. Di ruang tengah ini sumurnya terbuka menghadap langit, juga berfungsi sebagai sirkulasi udara, dimana Altarnya menghadap langit terbuka tanpa sajian. Kecuali bunga sedap malam yang harum. Dan juga ada ruang keluarga untuk berkumpul bersama keluarga. Kemudian ada ruang meja sembahyang, yang umumnya berdekatan dengan kamar tidur orang yang dituakan. Hal tersebut mengandung filosofi sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang dituakan.

BACA JUGA:  Buku "Menegakkan Demokrasi Pancasila" Ungkap Peran Yoseph Umar Hadi Hantarkan Megawati Jadi Ketum PDI

Menurut Hendra Lukito, di makam kuno orang-orang tionghoa sebelah kiri ada gundukan tanah sebagai tempat Sembahyang “Ti Kong” / “Toapekong Bumi”, tepat berada di sisi makam.

Jaman dulu rumah warga tionghoa, halamannya juga dijadikan tempat buka toko. Dan ada juga yang menjajakan barang dagangannya dengan keliling. Setiap mereka menjajakan barang dagangan untuk menarik pembeli, mereka selalu membunyikan kelontongan semacam bel kelontongan. Oleh sebab itu jaman dulu dikenal barang kelontongan, karena membunyikan kelontongan untuk menarik pembeli. Barang yang dijual biasnaya pakaian, sepatu, ember, dan peralatan masak, juga makanan. []

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *