Oleh: Yosep Yusdiana
Dahsyat. Geger se-alam dunia, manusia dibuat kelimpungan bukan kepalang menghadapi penyebaran Covid 19. Tingginya manusia yang terkonfirmasi positif terpapar wabah ini yang berdampak pada kematian tidak lagi bisa ditanggapi dengan tenang-tenang saja. Seperti lingkaran obat nyamuk, terus mendekati titik pusat dimana kita berdiri!
Ternyata, Covid*19 tidak hanya memutarkan rotasi lingkaran krisis kesehatan, akan tetapi juga krisis-krisis lain berupa krisis ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Sejenak saya terhenyak, kagum dengan virus ini, sekaligus was-was. Karena nyala sesungguhnya tidak hanya mendekati diri kita sebagai manusia calon terpapar yang berada pada titik tengah lingkaran obat nyamuk, akan tetapi juga mendekati kita bersama sumbu bom waktu setiap sendi kehidupan kita.
Dan logikanya, kedahsyatan dampak virus ini memiliki resiko tinggi akan kematian ketika memapar manusia sakit. Karena ketika memapar manusia sehat, virus ini lebih memanfaatkannya sebagai hidden carrier.
Pertanyaannya kemudian, dampak wabah Covid 19 yang merambah pada krisis ekonomi, sosial, politik dalam tatanan global dan nasional kita, akankah membuat dampak resiko tinggi kematian pada sistem tatanan umat manusia, baik global maupun nasional?
Mari kita diagnosa terlebih dahulu sistem ekonomi, sosial, dan politik kita, sebut saja hal itu dengan tatanan masyarakat kita. Sehatkah tatanan masyarakat kita? Apakah tatanan masarakat kita selama ini memiliki imunitas tinggi? Atau rentan akan sakitkah tatanan masyarakat kita? Setelah terdiagnosa, kemudian patut pula kita mempertanyakan landasan pengetahuan atas upaya menangani hasil diagnosa tersebut.
Dalam tatanan dunia saat ini, kita secara massif sedang disuguhi kampanye besar AKUMULASI KAPITAL yang mengarah pada keserakahan akibat perilaku degdradatif dari sikap dan sifat rente dan investasi; haus akan nilai lebih dan menimbun, yang secara hakikat mencipta suatu hasrat SERAKAH pada diri makhluk omnivora bernama manusia; pemakan segala yang segalanya dimakan, plus tidak kenal kenyang tentunya. Sehingga menyebabkan siklus alam “berontak” karena tidak lagi setimbang dan tidak berkemampuan merehabilitasi diri sesuai siklus yang dibutuhkan.
Dalam buku The Sane Society, dan To Have or To Be? yang ditulis oleh Erich Fromm, dengan gamblang menjelaskan soal perilaku hedonis dan penciptaan industri kapitalis adalah perwujudan nyata dari tatanan masyarakat sakit, yang mengedepankan have mode (modus memiliki) ketimbang being mode (modus menjadi), dan terus menerus mengejar kepuasaan atas keinginan yang tidak terbatas. Jika meminjam penggalan lirik lagu Iwan Fals dalam lagunya SEPERTI MATAHARI:
“Keinginan adalah sumber penderitaan tempatnya didalam pikiran,
tujuan bukan utama, yang utama adalah prosesnya,
kita hidup mencari bahagia, harta dunia kendaraannya,
bahan bakarnya budi pekerti, itulah nasehat para Nabi”
Manusia dalam perwujudan tatanan masyarakat industri kapitalistik menjadi manusia-manusia yang tidak lagi berhasrat atas dasar kebutuhan, melainkan atas dasar keinginan, yang tentu saja dengan sekian banyak strateginya telah menyulap keinginan menjadi (seolah-olah) kebutuhan. Iwan Fals ingin menyampaikan pesan bahwa kebahagian tidak didapat dari tujuan, melainkan dari jalan menuju tujuan, dan yang dimaksud harta dunia kendaraannya dalam lirik tersebut, adalah harta dunia yang diperoleh atas dasar kebutuhan, istilah Erich Fromm yaitu Kebutuhan Objektif, bukan harta dunia yang diperoleh atas dasar keinginan dan menjadi Kebutuhan Subjektif.
Erich Fromm menjelaskan lebih lanjut, bahwa tatanan masyarakat industri kapitalistik tersebut memiliki kecenderungan mendasarkan kehidupannya pada konsumsi yang maksimal, dan tentunya berdampak pada perusakan lingkungan hidup, yang selanjutnya dapat mengganggu bahkan menghancurkan sendi-sendi kelangsungan hidup manusia. Hal ini dapatlah kita sebut sebagai diagnosa a-la Erich Fromm; tatanan dunia kita adalah tatanan yang sakit.
Lalu, berikutnya mari kita pertanyakan bagaimana landasan pengetahuan yang menjadi teori dalam penanganan diagnosa tersebut dalam tatanan masyarakat industri kapitalistik.
Adalah Fritjof Capra seorang fisikawan yang membangun pemahaman holistik, dalam bukunya Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, menyebutkan bahwa pandangan hidup mekanistik begitu mapan dalam biologi, akibat pengaruh perkembangan biologi dalam sejarah ilmu Barat, yang juga berjalan seiring dengan ilmu kedokteran. Pengaruh paradigma Descartes pada pemikiran kedokteran mengakibatkan apa yang disebut dengan model biomedis, atau dikenal secara umum sebagai model medis. Telah memandang tubuh manusia sebagai sebuah mesin,dan penyakit dianggap sebagai ketidakberfungsian mekanisme biologis. Dengan pandangan ini, seringkali ilmu kedokteran kehilangan pandangan tentang pasien sebagai manusia, dan mereduksi kesehatan menjadi keberfungsian mekanis, dan tentunya pandangan ini tidak lagi mampu berhadapan dengan fenomena penyembuhan.
Pandangan mekanistik seperti ini, dan yang masih berlaku hingga saat ini, tentu mereduksi konsep kesehatan kaitannya dengan konsep kehidupan. Menurut Frijtof Capra, konsep kesehatan, sebagaimana konsep kehidupan, tidak dapat didefinisikan secara tepat, padahal keduanya sebenarnya terkait erat. Sejak revolusi Cartesian, perkembangan ilmu kedokteran diperkenalkan dengan konsep pemisahan jiwa dengan tubuh, yang tentu berpengaruh besar pada pandangan ilmu kedokteran yang sebelumnya kebanyakan penyembuh telah memusatkan perhatian pada kesaling-hubungan antara tubuh dan jiwa, dan telah memperlakukan pasien dalam konteks lingkungan sosial dan spiritual. Artinya, revolusi Cartesian telah mengubah pandangan ilmu kedokteran yang holistik, menjadi mekanistik.
Jadi, dapat kita bayangkan ketika diagnosanya tatanan masyarakat kita sakit karena virus-virus hedonis, dan konsumtif tak kenal kenyang, membentuk watak manusia yang eksploitatif dengan sesama dan dengan lingkungan kehidupannya, lalu ditangani oleh metode yang mekanistik. Alhasil tatanan masyarakat kita menjadi tatanan yang rentan dan tak memiliki imunitas.
Sementara, Covid 19 tidak hanya menyerang manusia sakit sehingga memiliki resiko kematian yang tinggi, akan tetapi juga menyerang sistem tatanan masyarakat kita yang juga sakit, dan tentunya, tatanan masyarakat kita menjadi memiliki resiko kematian tinggi; kematian ekonomi, kematian sosial dan politik. Paling tidak! Sumbu bom waktu kematian tersebut sedang didekati oleh lingkaran obat nyamuk Covid 19.
Lantas bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Indonesia adalah bagian dan bahkan mengambil peran dalam tatanan masyarakat global industri kapitalistik tersebut. Meski peran yang diambil sesungguhnya adalah peran sebagai Negara konsumen, pasar, dan paling banter hanya menjadi penyedia bahan baku, baik SDM maupun SDA. Intinya, Indonesia adalah Negara lahan yang kapan saja kekuatan global industri kapitalistik membutuhkan, SDM dan SDA Indonesia harus siap dipanen, untuk kemudian dijadikan komoditas.
Oleh karenanya, di Indonesia, ditengah pandemi covid 19, kebijakan yang dikeluarkan tidak ada yang layak di kritik; baik soal PSBB yang masih banyak pihak mempertanyakan efektifitasnya, relaksasi kedit yang pada penerapannya macet, BLT dan Bansos yang oleh sebagian pejabat dijadikan panggung heroisme, meski nyanyian heroisme nya ketika dijalankan tidak semerdu dengan apa yang dinyanyikan, hingga kebijakan-kebijakan makro seperti pandemic bond yang disinyalir akan menjebak Indonesia dengan lilitan utang dan agenda penyesuaian struktural, dan hingga perubahan-perubahan regulasi seperti keluarnya Perppu dan lain-lain. Semua itu tidaklah perlu dikritik, karena sesuatu yang dikeluarkan oleh yang sakit, ya cukup untuk dimaklumi saja! Toh Indonesia bagian dari tatanan masyarakat global yang sakit. Maka wajar jika ramuan-ramuan penyembuhan dan penanganan krisisnya memang menggunakan metode biomedis yang mekanistik itu. Sekali lagi, maklumi saja, karena memang perlu dimaklum.
Jika ingin sembuh, dari diagnosa penyakit yang ada, ya sederhananya berobat, jika obat dan penanganannya malah berpihak pada awetnya penyakit? Ya mari kita timbang ulang sistem yang dipakai dalam tatanan masyarakat kita, jangan ngeyel dan membiarkan penyakit! Karena kita butuh tatanan yang siap menghadapi setiap serangan penyakit bernama krisis.
Indonesia pada dasarnya sudah memiliki model, yakni nasionalisme Pancasila, sayangnya sejak lama nasionalisme Pancasila ini tidak diiringi dengan nasionalisasi. Padahal Negara super power seperti Amerika Serikat saja, yang sering kita sebut sebagai gembong liberalisasi dan swastanisasi, pernah melakukannya ketika pasca depresi pasca perang dunia kala itu, sekitar tahun 30-an, dengan menggunakan topangan teori ekonomi Keynesian.
Saat ini, Indonesia menghadapi krisis dampak wabah Covid 19, dan ini adalah perang yang juga akan menghadirkan depresi kelak. Kenapa kita tak kembali saja secara konsekuen pada ajaran ekonomi-politik yang kita punya? Untuk situasi darurat saat ini saja, kenapa kita tidak melakukan nasionalisasi penanganan yang jelas? Sehingga tidak dibuat samar dan sumir antara himbauan moral dengan tindakan politik. Dan tentunya dalam hal apapun, pekerjaan utama pemerintah adalah melakukan tindakan politik, bukan himbauan moral; seperti iklan rokok: MEROKOK DAPAT MEMBUNUHMU yang tidak pernah mengikat dalam mengurangi angka manusia merokok di Indonesia.
Akhirnya, gara-gara Covid 19, ada tanda tanya besar, tatanan yang sakit kok dipelihara?
Entahlah… (*)