Antara Amerika Serikat dan Indonesia

Oleh NURDIN M.NOER*

ADA yang menarik pada dua negara ini, antara Republik Indonesia dan Amerika Serikat. Kedua negara itu menggunakan simbol “burung elang” sebagai lambang negaranya. Republik Indonesia menamakan lambangnya “Garuda Pancasila”, sementara Amerika Serikat menamakannya ”Amerika Serikat Seal” yang merupakan segel resmi dari pemerintah AS. Sebutan yang dominan adalah “Eagle American” yang ditunjukkan dengan sayapnya yang melebar. Elang tersebut di paruhnya membawa sebuah gulungan yang muncul dalam bahasa Latin dengan motto “E pluribus unum” (Dari berbagai aliran, tetapi satu).

“E pluribus unum” adalah motto Amerika Serikat. Motto ini muncul pada berbagai koin dan uang kertas serta banyak pada monumen publik. Sementara pada Garuda Pancasila tertera “Bhinneka Tunggal Ika’yang artinya, mirip dengan sang elang Amerika, yaitu “Berbagai aliran, tapi satu tujuan.” Bedanya “burung elang” Amerika nampak lebih kurus, sedangkan “elang Indonesia” nampak lebih gemuk (Ciplikan tulisan saya di PRB “Presiden untuk Seluruh Rakyat”, Kamis 22 Mei 2014).

Sementara pada sisi lain, dua Partai Demokrat di kedua negara tersandung korupsi besar-besaran. Watergate, sebutan skandal politik besar Amerika Serikat yang dimulai dengan pencurian dan penyadapan markas kampanye Partai Demokrat, kemudian membuat Presiden Richard M. Nixon dan banyak pendukungnya dalam berbagai tindakan ilegal, dan memuncak dalam pengunduran diri pertama presiden AS.

Pencurian tersebut dilakukan pada 17 Juni 1972, oleh lima orang yang tertangkap di kantor Komite Nasional Demokrat di apartemen Watergate dan kompleks perkantoran di Washington, DC. Penangkapan mereka akhirnya menemukan sebuah rencana Gedung Putih, disponsori spionase terhadap lawan politik dan jejak keterlibatan yang menyebabkan banyak pejabat tertinggi di negeri itu, termasuk mantan Jaksa Agung AS John Mitchell, Gedung Putih Counsel John Dean, Kepala Staf Gedung Putih HR Haldeman, Asisten Khusus Gedung Putih John Ehrlichman dan Presiden Nixon sendiri. Pada 30 April 1973, hampir setahun setelah pencurian dan penangkapan serta menyusul penyelidikan dewan juri dari pencurian tersebut, Nixon menerima pengunduran diri Haldeman dan Ehrlichman dan mengumumkan pemecatan Dean. Jaksa Agung AS Richard Kleindienst mengundurkan diri juga. Jaksa agung baru, Elliot Richardson, menunjuk seorang jaksa penuntut khusus, profesor Harvard Law School Archibald Cox, untuk melakukan investigasi skala penuh dari skandal pembobolan Watergate. (Encarta,2003).

BACA JUGA:  PWI Majalengka Akan Gelar HPN Award 2019

Hampir mirip dengan Partai Demokrat (Indonesia), kader-kadernya tersandung “Hambalang Gate” Bermula dari penyelidikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terhadap bau busuk pada proyek venue olahraga terbesar di Tanah Air itu. Muhammad Nazarudin, berkokok setelah ditangkap KPK. Kader Partai Demokrat itu menyebut sejumlah nama, seperti Andi Mallarangeng (Menpora saat itu), Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum dan sejumlah nama lainnya. Belakangan Anas (mentan ketua Partai Demokrat) seringkali menyebut nama pendiri dan Ketua Partai Demokrat SBY terlibat dalam kasus tersebut. Namun KPK masih belum melakukan tindakan.

Rupanya nasib SBY tidak seburuk Presiden Richard M. Nixon yang harus mengundurkan diri pada jabatan presiden keduanya. Tinggal beberapa hari lagi Pemilihan Presiden dilakukan. Lalu apa yang membuat presiden besar? Sejarawan Robert Dallek (Encarta, 2003) berpendapat, ada enam kualitas kunci dalam keberhasilan presiden: visi, aktivisme, pragmatisme, karisma, membangun konsensus dan kredibilitas. Keberuntungan juga berperan, dalam pandangan Dallek, tapi presiden terbesar negara ini (Amerika Serikat, pen) telah berhasil membuat tanda mereka, bahkan ketika keadaan tampaknya bersekongkol melawan mereka.

Dalam penelitiannya, sejarawan itu menemukan, dari empat puluh satu orang yang menjabat presiden. Setiap salah satu dari mereka ingin dikenang sebagai sosok luar biasa. Bahkan yang paling konservatif orang-orang, seperti James Buchanan, Calvin Coolidge dan Ronald Reagan, ingin diingat sebagai pemimpin yang membuat perbedaan yang signifikan dalam kehidupan bangsanya. Presiden yang besar, untuk sebagian besar, melakukan tindakan agresif dalam memimpin. Ia ingin menegaskan diri dalam menanggapi krisis domestik dan global. Mereka telah menjadi presiden yang menyatu dan menguat dengan bangsanya untuk menghadapi tantangan besar dan yang menemukan jawaban yang bisa diterapkan untuk pertanyaan besar. Menurutnya, paling penting dalam kasus ini, presiden harus memiliki visi (pandangan).
“Presiden tanpa visi, rakyat binasa.” Bagaimana dengan Indonesia? Nyatanya kita masih membutuhkan “Presiden bagi Seluruh Rakyat Indonesia.[]

BACA JUGA:  Ditinggal Pemilik, Bangunan Rumah Mendadak Terbakar

*Wartawan senior.

Komentar