Oleh : Eva Nur Arofah
… diam-diam wajahmu yang cerah itu, memasuki taman impianku yang dipenuhi bunga-bunga dan selalu sebagai bidadari yang tabah-setia
senyumu menyusun puisi abadi dari serat jiwaku (15 Maret 2004, 23.39 WIB)
lalu sejuk matamu menyentuh kertas hatiku menulis berlembar-lembar surat cinta duhai yang mahacinta, izinkanlah, kusunting bidadari terakhir dari ufuk kehidupanku ini (15 Maret 2004, 23.46 WIB)
Maka, sesungguhnya bertekuklututlah aku dihadapanmu, sayangku
bulan yang redup itu, telah disepuh mahapurnama yang penuh cahaya
kaulah cahaya purnama yang tak pernah redup… (15 Maret 2004, 23.53 WIB)
Demikian, salah satu penggalan SMS “rayuan” yang dikirim Kang Alwy kepada saya sebelum kami menjadi pasangan suami-istri. SMS yang menurut sayadasyat karena mampu membuat saya terkadang tersenyum sendiri, tersanjung, sekaligus melambung.
Yah, saya selalu kagum kepada orang yang dengan mudah menemukan kata atau kalimat yang mewakili perasaannya, penglihatannya, juga pendengarannya. Saya dibikin mabuk oleh rayuan dan puisi-puisi Kang Alwy.
Samar-samar saya mengingat kapan persisnya saya bertemu pertama kali dengan Kang Alwy. Tepatnya tanggal berapa saya lupa, tapi pertemuan pertama itu terjadi di ruang seminar salah satu hotel di Kuningan.
Saat itu saya terkesan dengan makalah, presentasi, dan dialog yang selalu melibatkan Kang Alwy. Meskipun, saya harus mengerutkan dahi ketika membaca makalahnya yang, menurut saya, agak berputar-putar.
Belakangan saya menyadari, Kang Alwy memang punya gaya dan maksud tersendiri ketika menulis; Kang Alwy ingin agar pembaca menjadi kreatif, melihat persoalan secara detail dan menyeluruh, berpikir bebas dan tidak linier, serta berani keluar dari “kebiasaan umumnya” atau out of the box.
Di luar itu semua, Kang Alwy adalah bintang di forum diskusi tersebut (juga diskusi lainnya). Banyak ide baru, original, kadang-kadang juga “gila” yang Kang Alwy tawarkan.
Berkaitan dengan saya pribadi, entah apa yang ada di kepala Kang Alwy saat itu, tapi sejak pertemuan pertama kami, kalimat-kalimat rayuan berulang kali Kang Alwy kirim ke meja saya, entah itu lewat secari kertas, atau dengan menggunakan kertas penutup gelas.
Singkatnya,kemudian hari-hari kami diisi dengan segudang rencana untuk hidup dan bahagia bersama, Kang Alwy sebagai suami, dan saya sebagai istrinya.
“aduh anake isun meneng e ning kamer telu kotak”(waduh, anak saya tinggalnya di kamar tiga kotak…) demikian kalimat mimi saya ketika pada satu waktu menengok anak dan menantunya di Dewan Kesenian Cirebon.
Waktu itu saya hanya menaggapi kalimat mimi dengan senyum kecut. Keluarga saya pasti tidak tahu, karena justru ketika di DKC-lah saya merasakan titik perubahan dalam kehidupan pemahaman saya; tentang kehebatan salah satu ciptaan tuhan, yakni laki-laki dan perempuan, tentang rasa, keinginan membahagiakan kekasih.
Juga, ada banyak hal kecil yang sebelumnya saya menganggap ringan dan sepele, tetapi kemudian saya memperhatikannya dengan seksama, mulai dari menyeduh teh, membuat secangkir kopi lezat, menu makan, makanan kecil, memeliharatanaman dan binatang,juga pakaian dan parfum “berkelas” ala Kang Alwy.
Lambat laun, saya merasa sosok Kang Alwy semakin hari semakin unik dan menarik. Bagi saya, Kang Alwy adalah intelektual yang luwes sekaligus keras kepala. Luwes, karena hampir semua lapisan masyarakat datang dan meminta pendapatnya; mahasiswa, seniman, aktivis, kiyai, birokrat, pengusaha, juga tukang becak saya lihat berkali-kali datang ke DKC. *bersambung*