oleh

Suluk Kritisisme Alwy

Oleh ASEP SALAHUDIN*

BEBERAPA kali berdiskusi langsung dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy. Lebih sering melakukan percakapan lewat HP, dan biasanya berlangsung  selalu lebih dari 30 menit. Membicarakan banyak hal dari persoalan politik sampai klenik, tema historis sampai mistis, dari para wali yang berhasil mengislamkan “orang kafir” sampai gerakan takfiri yang kerjanya mengkafirkan orang Islam, dari Islam liberal sampai fenomena mewabahnya hasrat penerapan syariat Islam di beberapa kawasan yang ujung-ujungnya para penguasa saling beradu cepat melakukan poligami, dengan dalih mengikuti sunnah Nabi, dari harapan-harapannya terhadap Dewan Kebudayaan Jawa Barat sampai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah tidak mungkin lagi diharapkan karena nampak kian sesat.   

Urusan puisi tentu menjadi perhatian utamanya seperti nampak dari karyanya “Bentangan Sunyi” (1996) “Titian Antar Bangsa” (1988), dan “Negeri Bayang-bayang” (1996). Di luar itu, Alwy sangat fasih juga berbicara banyak hal dan selalu kritis dalam melihat hal yang banyak itu. Jangan tanyakan letak kesalahan pikiran kaum birokrat ketika mengelola kekuasaan atau ketika mereka sok pintar berbicara politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan bahkan Alwy  juga lancar mendaftar kekeliruan nalar kawan-kawan penyairnya dan dia sampaikan itu dengan hujjah meyakinkan, bukan hujatan penuh kebencian.

Alwy memformulasikan kritik terkadang dengan cara mengolok-olok, di lain waktu sambil berkelakar, menjungkirbalikan logika dan sering pula dengan metode sangat serius mengutip para pakar lengkap dengan  rujukannya baik berbahasa Cirebon atau Arab, dan kadang dikuatkan  ayat-ayat al-Quran yang telah ditafsirkannya sesuai ijtihad kreatif dan istinbath imajinatifnya, sehingga seringkali memunculkan kesimpulan penafsiran tak terduga dan tidak mustahil Alwy juga tidak menyangka kesimpulannya bisa seperti itu. Sampai kemudian “lawan” dan “kawannya” itu tak menimpalinya lagi, tidak berkutik, mungkin merasa berdialog dan berdebat dengan Alwy tidak akan pernah mengenal titik batas penghabisan dan bisa jadi tidak lagi menemukan alasan untuk membantahnya.

Itulah cara Alwy melecut seseorang apalagi itu juniornya agar dapat meningkatkan kemampuan dirinya, istikamah menjalani pilihan hidupnya.  Manhaj Alwy dalam  menyayangi seseorang, bukan dengan menebar pujian tapi menunjukkan letak kesalahan. Tentu saja semua itu mudah dilakukan Alwy, karena dia seorang yang rakus membaca literasi dan tekun merenungkan bentangan alam, sehingga wawasannya luas dan perspektifnya tajam.

Ketika Alwy merasa perlu membela seseorang, maka pembelaan itu dilakukannya bukan karena pertemanan tapi atasnama akal sehat yang harus terus dirawat, kebebasan yang semestinya tetap mendapatkan tempat, ketakutan yang wajib ditanggalkan dari alam pikiran masyarakat seperti ia lakukan dalam kasus sajak “malaikatnya” penyair Tasikmalaya, Saeful Badar. Tulis Alwy, “Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Ia harus memberikan kedamaian dan keadilan. Seorang muslim haruslah mendahulukan islah daripada perpecahan, mendahulukan sikap adil dari pada kebencian (kepada pihak mana pun), sebab ditulis dalam Qur’an, “Dan janganlah kebencianmu akan suatu kaum, mendorongmu untuk tidak adil. Berlaku adillah; karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah” (Qur’an 5:8). Pemberangusan puisi “Malaikat” menunjukkan kebutuhan umat Muslim hari ini untuk melepaskan diri dari ketakuan, dan menumbuhkan kembali hasrat akan pertanyaan, penyelidikan, dan perdebatan bersemangat dalam semangat analitis, membaca atas nama Tuhan.”

Kekuasaan

Nyaris di mata Alwy wajah kekuasaan itu serba buruk rupa, apalagi dalam fragmen terakhir hidupnya dia sangat kecewa dengan cara penanganan kasus Gedung Kesenian Cirebon yang ter(di)bakar itu. Atau bisa jadi kita juga sangat sepakat khittah kekuasaan selalu mengundang menjadi sasaran kritik karena wataknya yang kebanyakan bebal, dungu dan primitif, sudah suratannya kaum penguasa selalu melakukan kekeliruan dengan penuh kesadaran dan terus berulang.

Bahkan ketika politisi mengutip puisi dan atau bikin puisi, maka kita harus mencurigainya. Kata Alwi, “Puitika, Politika, Retorika”  (Khazanah, Pikiran Rakyat, 2008), “Bahasa dalam konteks representasi politik dan puisi, siapapun tahu, merupakan dua kutub imajinasi bahasa yang saling berseberangan. Karena sudah jelas, politik-di negeri kita-selama ini, semakin kuat mengaktualisasikan hasrat verbal yang mendorong sikap monolitik perseorangan maupun kelompok, seolah mainstream dan sentrum dalam perubahan sosial masyarakat. Regimentasi Orde Lama maupun Orde Baru yang memosisikan politik sebagai panglima, ternyata belum mengalami perubahan yang berarti. Dengan menggunakan teks-teks sastra (puisi dan pantun) yang dikukuhkan menjadi ambisi teks politik, karya sastra berhenti sebatas propaganda, dan, bahasa politik tidak serta-merta mengalami pencanggihan dalam menerobos imajinasinya sendiri yang bebal… Bahasa politik yang ditulis dan dinyatakan dalam teks-teks pidato, pernyataan, selebaran, spanduk, siaran berita, atau diskusi-diskusi politik telah melampaui titik jenuh yang sangat mengkhawatirkan. Terlebih, jika dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa sosial yang kian mencekam. Diakui atau tidak, politik di tengah euforia demokratisasi pascaruntuhnya rezim Orde Baru, bagaimanapun telah menyebabkan “ekspresi politik” berlangsung sedemikian rupa.’

Nampaknya Alwi sepakat dengan apa yang ditulis Ignas Kleden (2001), “…puisi diperlukan untuk memahami aksi, retorika untuk mengadakan aksi… Puisi membukakan mata, retorika menghentakkan kaki… Politik dapat dipahami sebagai usaha menghasilkan suatu keputusan bersama kemudian mengusahakan terlaksananya keputusan tersebut dengan berbagai kemungkinan…”

Sejak Orde Baru ketika kekuasaan secara jumawa menerapkan teror terhadap pihak yang tak sehaluan, Alwy justru tegas menampilkan dirinya sebagai lambang dari warganegara yang sadar akan hak-haknya dan kesadaran itu dia rayakan di ruang publik dengan menginjeksikan sikap politik dan jiwa kritis kepada khalayak lewat beragam media dan cara, termasuk melalui peristiwa kesenian yang sering dilangsungkannya di Cirebon dan di tempat-tempat lainnya. Sebagai budayawan, penyair sekaligus pekerja sosial Alwy seperti tidak mengenal lelah menyuarakan kebenaran sekaligus menunjukkan  jalan yang dipandang sahih dan seharusnya dijadikan pijakan.

Bahkan ketika menulis puisi religi, maka sikap politiknya tetap melekat sebagaimana nampak pada puisi “Mama Presiden”, “Untitled”, “Nguntal Negara”, “Gandrung Kapilayu”, “Babad Sandykala”, “Tarling Asmarandana”, “Suluk Politisi” dan “Suluk Pamarentah” dalam buku  “Suluk-Suluk Cirebon: Kumpulan Puisi Cirebon” (2011).

Di mata Alwy hakikat religiositas-suluk itu tidak diletakkan pada  maqam ritual-eskapis, tapi harus dimatangkan dalam gemuruh persoalan sosial-politik harian. Religiositas menjadi semacam iman yang “menyala dalam kekudusan” untuk menyebarkan terang ke segala arah penjuru mata angin yang diolah dari hiruk pikuk peristiwa yang dialami dan dilihatnya. Atau dalam ungkapan Cicero, qui Omnia quae ad cultum deorum partinerent, dilegenter recractarent et tamquamrelegerent, sunt dicti religiosi.

Suluk menjadi sesuatu yang bukan hanya menggetarkan palung sukma tapi juga, mengikuti A. Teeuw, memenuhi  dulce et utile (menghibur dan bermanfaat).

Seandainya  Chairil Anwar memadatkan religiositas itu dalam doa yang bikin hamba di depan Tuhannya “hilang bentuk” dan “remuk”, Amir Hamzah menjadi berkelindan dengan emosi “kesunyian” atau  luka abadi  (Sapardi) dan Tuhan  yang terus dipersoalkan secara ontologis di seberang manusia yang daif (Goenawan Muhammad), maka Alwy lebih tertarik  membenturkan menjadi religiositas yang politis.

Babad Sandyakala

Bagi Alwy, Indonesia seperti ditakdirkan selalu berada dalam tubir babad gila, babad sandyakala, mungkin mengingatkan kita pada nubuwat puitik zaman edannya Ronggowarsito. Sandyakala merujuk pada waktu di mana jin dan setan keluar mempertontonkan kelicikannya sekaligus merancang siasat menjerat manusia yang lalai. Politik persis merkayangan ngambyang ning surupe sandyakala! Babad gila melambangkan orde kekuasaan yang salah urus. Alih-alih belajar dari sejarah agar tidak jatuh ke lubang yang sama serupa ternak, tapi malah penyakit lupa tak henti menghampiri kerumunan penguasa yang mengakibatkan jagat murka, bencana tak henti mengepung kita.

…Jagate murka, madep sedakep manjing surupe sandyakala. srengenge ngenes, nyamburakeun banjir kang gawe ngersula/bumie bundas/ning endi bae isun lunga kabeh wis growak/ngowak ngawik dikeduke teka intipe lemah, burak rantak/politik, dadi urub urube geni kerajaane memedi banaspati/iki babad sejarah peteng, aja sambat kaniayaya. Ampun Gusti…

Politikus bagi Alwy tak lebih hanya gerombolan manusia yang tidak pernah henti memoles dirinya dengan dusta, pencitraan dan kebohongan menjadi bagian integral konsep dirinya dan sisanya adalah kecakapan menyusun retorika dan kalau perlu menjual agama supaya nampak berwibawa dan perjuangannya dianggap mulia. Kalau Charles Darwin menemukan teori evolusi di mana kera pada akhirnya berubah menjadi manusia, maka dalam konteks kebanyakan politisi kita evolusi itu harus dibaca secara terbalik: diam-diam politikus itu berubah menjadi “kera”, rakus, tidak punya rasa malu, tamak dan menghalalkan segala cara.

Aih, ilati pada kebeh kaya selorokan plastik: lunyu pisan/cangkeme lanyah glibad-glibed, ndilati kita kang kapiran/jangjie jare pribasane, seduwure uwit klapa kentug langit/akire kabeh weru dewek, mledingi silit kaya wong sengit/wis aja gemuyu, aja pringas pringis, aja mesem memble/ayo, senggak-guyone aja klalen toli gamelane kang rame/politik..popolpol…itikitikitik…Gusti, gona-gonai aja pada sambat kaniaya: jeknooong.

Ketika gonjang-ganjing persoalan ekonomi liberal dan kasus Bank Century  yang meledak  dan sempat “menyeret” sosok Sri Mulyani Indrawati, dengan menarik di ujung puisinya yang berjudul Gandrung Kapilayu, Alwy menulis: Nok Sri Mulyani Indrawati, mesema ning Ang Penyair: Emmmmmmuachh

Sikap Alwy  yang seperti itu tentu menjadi momok menakutkan bagi kaum penguasa baik di tingkat lokal Cirebon ataupun di aras Nasional. Berkali-kali didekati dan hendak “ditundukkan”, namun ternyata  Alwy  tetap tegak lurus dengan kepribadiannya, dengan visi dan iman kepenyairannya. Bahkan jangankan  menyelaraskan dengan kepentingan politik sesaat, justru semakin vokal menyuarakan aspirasi massa.

Inilah sindiran keras Alwy tentang kiprah pencitraan lebay politisi, “Berpolitik dengan paras wajah innocent seorang teknokrat yang berikrar menggairahkan dunia pertanian; berpolitik melalui style seorang spiritual yang akan mewakafkan dirinya untuk kehidupan; berpolitik secara oposisi sebagai seorang wali yang bertolak pada wahyu kebenaran; berpolitik dengan menekankan dirinya hipotesis dari regenerasi pemimpin tua; berpolitik yang berdiri mengandaikan dirinya martir untuk rakyat yang teraniaya; berpolitik dalam paradigma seorang saudagar yang mencerminkan pribadi dermawan kepada wong cilik dan penuh perhatian terhadap mereka yang berprestasi; atau, berpolitik dengan psikologi seorang yang senantiasa introspeksi dan bersikap hati-hati.”

Tetap menjadi Alwy

Tahun 1998, ketika zaman beralih dan negara despotik Orde Baru itu tumbang, tidak sedikit kawan-kawannya yang kemudian aktif di partai dan menjadi pejabat, Alwy tetap menjadi Alwy, tetap menjaga jarak dengan kekuasaan. Bukan tidak ada partai yang menggodanya, tapi Alwy sendiri yang tetap hanya mau berminat menjadi pribadi otentik yang sedikitpun tidak terpikat pesona politik  praktis yang menawarkan kemilau benda, kekuasaan dan kemewahan.

Sebagai yang pernah sama-sama menjadi pengurus di Banom Lajnah Talif wa-Nasyr di PWNU Provinsi Jawa Barat, Alwy seringkali memprovokasi pengurus Nahdatul Ulama agar mengembangkan tradisi kepenulisan, supaya ajengan (kyai) bukan hanya pandai berpidato tapi juga dingin menganalisis persoalan sosial kemasyarakatan dan keagaman lewat tulisan, buku dan kitab seperti diteladankan para ulama abad pertengahan.

Kalau hari ini ormas Nahdatul Ulama giat menawarkan keislaman bercorak Nusantara dan keberagamaan yang tidak tercerabut dari akar kebudayaan daerah, maka dari dulu Alwy sesungguhnya telah intens bergelut dengan keislamaan yang dihunjamkan pada lokalitas kecirebonan, bergumul dengan persoalan pentingnya penghayatan keagamaan yang diacukan pada kearifan tradisi dan keniscayaan bersikap lapang dalam melihat keragaman. Bahkan Alwy mempraktekkan langsung lewat senarai puisi-puisi suluknya yang berbahasa Cirebon.

Mas Alwy, selamat jalan. Semoga bahagia di alam baka. Ketika Munkar dan Nakir mengajukan pertanyaan kubur, tidak perlu balik bertanya apalagi ngeyel mendebatnya, karena kedua malaikat itu hanya melakukan konfirmasi sekaligus memberikan kesaksian bahwa Alwy adalah orang baik. Sebagaimana kesaksian kita bersama. []

*esais, mengajar di IAILM Pesantren Suryalaya, UIN Bandung dan Fakultas Seni dan Sastra UNPAS Bandung.

Komentar