Oleh: Pipih Rayati (Wakil Ketua Bidang Kesarinahan DPD GMNI Jawa Barat)
ANGKA kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia setiap tahun meningkat. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat, ada 3.495 kasus kekerasan seksual tahun 2017. Bahkan, sejak tahun 2014 Indonesia dinyatakan darurat kekerasan seksual.
Beberapa kasus mangkrak karena belum adanya regulasi mengenai tindakan terhadap kekerasan seksual. Bahkan, regulasi yang ada hanya mengatur pemerkosaan, ekspoiltasi seksual dan perdagangan perempuan. Itu membuktikan bahwa regulasi yang mengatur kekerasan seksual masih lemah secara implementasi maupun subtansi.
Banyak korban rentan dikriminalisasi saat membela diri karena regulasi yang ada tidak menyasar pada akar permasalahan kasus kekerasan seksual. Korban lebih sering disudutkan atas nama moralitas. Sesuai catatan tirto.id, palu hukum bersikap misogini terhadap kekerasan seksual. Artinya, ada regulasi yang pincang terhadap korban apalagi perempuan.
Penting untuk kita bersama ketahui, berlakunya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberikan masyarakat perlindungan hukum yang lebih komprehensif. Penyintas kekerasan seksual pun lebih terakomodir saat proses hukum berlangsung. Peningkatan kesadaran publik untuk paham berbagai kekerasan seksual dibuka dengan jalan disahkannya Rancangan Undangan Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Semua korban kekerasan seksual, baik anak-anak maupun orang dewasa, dapat terpenuhi haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan dan jaminan ketidakberulangan. Prinsip Lex Posteriori derogate legi priori, maka RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan mengisi kekosongan hukum dari segala peraturan yang belum mengatur secara menyeluruh.
Beberapa pekan yang lalu sempat ramai dibicarakan penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Banyak pendapat yang pincang gender membicarakan isi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Masyarakat masih butuh edukasi tentang soal-soal perempuan yang masih saja dianggap sebagai objek atau subjek kedua.
Sesuai dengan perkataan Bung Karno didalam buku Sarinah “Dan oleh karena soal perempuan adalah soal masyarakat, maka soal peremppuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Lebih tegas: soal laki-laki perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan” lanjutnya “Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki laki perempuan, selalu pincang. Dan kemanusian akan terus pincang selama saf yang satu menindas saf yang lain. Harmoni hanya dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain”.
Jika perempuan merupakan saf, dan laki laki juga merupakan saf yang lain, semestinya kita harus bisa adil sejak dalam berpikir agar harmoni di masyarakat bisa tercapai. Maka kita harus bisa berpikir adil dan berkemanusiaan bahwa soal kekerasan seksual merupakan soal kemanusiaan.
Dengan urgensi itu, sangat diperlukan dan penting untuk segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan. Menolak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berarti menolak pelaksanaan Pancasila yang berkeadilan dan berkemanusiaan.