Pergolakan Politik Indonesia 1964/1965 – Proyek Ganyang Malaysia

Oleh: Nurdin M Noer* 
SIAPA bilang Bapak dari Blitar.
Bapak kita dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar,
Indonesia banyak makanan
… mari kita bergembira, bersukaria bersama
Hilangkan sedih dan duka, mari nyanyi bersama

(petikan lagu Bersukaria ciptaan Soekarno 1964/1965)

LAGU ciptaan Presiden Soekarno itu dinyanyikan berbagaikesempatan oleh seluruh biduan dan rakyat Indonesia di berbagai tempat, termasuk di perdesaan Cirebon. Ironis agitasi sang presiden hanya mampu menyirap masa beberapa saat lamanya. Rakyat berkeluh kesah, karena Indonesia yang dikatakan “banyak makanan” ternyata omong kosong. Lebih parah lagi saat Indonesia keluar dari PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), ekonomi terpuruk dengan inflasi mencapai 600 persen. Dan Indonesia saat itu digolongkan sejajara dengan negara-negara underdevelopment country (negara miskin) yang hanya bisa disejajarkan dengan negara-negara di Afrika Tengah.
Di tengah kegaduhan politik dan kelaparan itu, Presiden Soekarno dengan berapi-api menyatakan, “Kalau kita lapar, itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, itu kurang ajar !” Ya, konfrontasi dengan Malaysia di tahun 1964/1965 dan keluarnya Indonesia dari PBB, membuat republik yang masih muda itu dikucilkan dalam pergaulan internasional. Pada saat itulah “Poros Jakarta – Peking dan Pyongyang” dibangun Soekarno dan untuk menandingi Pesta Olahraga Olympiade, Soekarno mengumumkan “Ganefo” (Game of the New Emerging Forces).

Bersiaplah Tengku aku datang menentang maksudmu
Hadapilah Tengku aku akan merintang niatmu
Semangat bangsaku ’kan membara setiap penjuru
Kita berjuang membela keadilan di dunia
Kita menuntut merdeka bagi semua bangsa
Bangkitlah serentak Afrika Asia.

(Be prepared Tengku, I am coming to obstruct your plans
Face up Tengku, I will block your intentions
The enthusiasm of my nation will set alight every corner
We fight to defend justice in the world
We demand independence for every nation
Rise up [together] Africa and Asia).

BACA JUGA:  Sejumlah Rekan Korban Menyampaikan Bela Sungkawa Merasa Kehilangan

Konfrontasi dengan Malaysia terinspirasi lagu-lagu yang lebih populer daripada kebijakan Soekarno-era lainnya. Namun demikian, hal ini berguna menyebutkan kebijakan Soekarno lain yang terinspirasi lagu-lagu populer untuk menunjukkan, lagu-lagu yang berkaitan dengan isu-isu politik saat ini atau urusan yang tidak biasa. Banyak ide-ide Soekarno disampaikan kepada masyarakat Indonesia melalui pidato-pidatonya menjadi kebijakan pemerintah resmi dan bagian dari percakapan sehari-hari. Misalnya, 1959 pada Hari Kemerdekaan, Soekarno menjelaskan konsep tentang Manifesto Politik (Manipol; Manifesto Politik)

Demikian pula, konsep NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme, Nasionalisme, Agama, Komunisme), yang dihasilkan dari keyakinan Soekarno, aliran utama dalam hidup Indonesia harus bersatu untuk kebaikan semua, menjadi diterima sebagai model ideal untuk semua aktivitas sosial dan politik (Weatherbee 1966: 40-1). Konsep NEKOLIM (Neo-Kolonialis dan Imperialis), yang digunakan Soekarno untuk mengarakterisasi kekuatan mantan kolonial Eropa dan negara-negara lain di Barat (Weatherbee 1966: 23), sering dirujuk dalam pers dan di tempat lain. Contoh lain adalah konsep Soekarno dari Panca (atau Lima) Azimat Revolusi (Lima Azimat Revolusi) diperkenalkan pada tahun 1965, yang membawa bersama-sama lima aspek baru dan lama thinkingnya (Steven Farram, Brill 2014).

Steven Farram juga mencatat, Manipol, Nasakom Nekolim, Panca Azimat Revolusi dan konsep-konsep lain yang diperkenalkan oleh Soekarno yang direferensikan dalam banyak lagu-lagu populer dari hari ke hari. Misalnya, Manipol disebutkan positif dalam lagu yang dinyanyikan Lilis Surjani ini Untuk PJM Presiden Sukarno (untuk Yang Mulia Presiden Soekarno; ditulis oleh Soetedjo). Contoh lain adalah lagu Nasakom bersatu (ditulis oleh Subronto K. Atmodjo). Sementara itu, penyanyi Lilis Surjani dengan lagu “Pantun djenaka” (ditulis M. Sani) dan juga dalam lagu “Bersukaria” diaransemen Orkes Irama, dengan lagu yang dikredittitelkan Soekarno sendiri. Sebagai akhir misalnya, ada lagu Rossy “Lima Azimatku” (ditulis Wedhasmara), yang menyangkut kebajikan dari “Panca Azimat Revolusi” dan kebutuhan utama untuk menghancurkan NEKOLIM untuk menyelamatkan negara.

BACA JUGA:  Panwas Kabupaten Cirebon Mulai Rekrut Tenaga Panwas Kecamatan

Pada bagian berikutnya dari artikel hasil survei dari berbagai lagu Konfrontasi disajikan, memeriksa beberapa tema utama mereka dan fitur. Ini diikuti dengan analisis yang lebih rinci alasan untuk popularitas lagu Konfrontasi dengan pemain, penulis lagu dan masyarakat mendengarkan. Bagian terakhir dari artikel ini juga peduli dengan meneliti bagaimana lagu-lagu dipasang ke dalam lanskap politik dan budaya umum dari kali. (Brill, 2014).

Pada masa itu, penciptaan ‘identitas Indonesia’ berdasarkan praktek budaya adalah masalah dianggap yang paling penting oleh Soekarno dan pendukung sayap kirinya. Hal ini menyebabkan pernyataan publik sering melawan bahaya ‘imperialisme budaya’ Barat, khususnya melalui rock and roll. Dikatakan, bagaimanapun, “Kiri” tidak berarti memiliki monopoli pada propagasi kebanggaan nasional. Kiri didukung Konfrontasi, tapi begitu pula sebagian besar masyarakat Indonesia; banyak juga menyukai musik dipengaruhi Barat dan sejumlah lagu konfrontasi tidak begitu berbeda dengan musik Barat populer hari. Melalui pengamatan dari beberapa lagu-lagu ini, referensi teori budaya populer dan spesialis budaya populer Indonesia (baik di bidang musik dan daerah lainnya), terlihat bagaimana musik populer tercermin dari apa yang terjadi di arena politik, dan juga bagaimana penulis lagu dan pemain berusaha untuk menggunakan musik untuk mengartikulasikan makna sosial mereka sendiri (Brill).

Pada April 1964, Malaysia mengumumkan pengerahan dekat Kalimantan Utara 100.000 pemuda untuk membantu dalam perjuangan memerdekakan Kalimantan Utara, tetapi langkah itu terutama simbolis, tidak lebih dari beberapa ribu yang bisa diserap dalam tentara Malaysia yang ada. Soekarno menanggapi dengan menyatakan mobilisasi umum relawan yang segera menglaim keanggotaan 21.000.000. Ada beberapa lagu yang menyoroti peran relawan Indonesia dalam konflik, seperti Karsono Bersaudara menulis Sukarelawan, yang menggambarkan relawan maju antusias di garis depan, siap untuk menghancurkan musuh.

BACA JUGA:  Dishub Kuningan akan Pasang Ribuan Lampu LED

Salah satu yang paling agresif dari semua lagu konfrontasi adalah Orkes Kutilang dan Ansambel Gembira Maju Sukarelawan (ditulis Sudharnoto), sebuah marchingband ala militer dalam lagu “Ganyang Simanalagi”. Kami diberitahu ada relawan termasuk pekerja, petani, pemuda dan lain-lain, berbaris dengan senapan dan bayonet. Mereka siap untuk melawan imperialisme jahat. Bahkan, mereka berani menyerang musuh, sehingga dapat menghancurkan mereka (James Mackie (1974: 244,Brill). Namun, disimpulkan sangat sedikit relawan pernah sampai di dekat zona pertempuran, dengan mayoritas ditugaskan sebagai komandan militer setempat untuk melakukan berbagai tugas.

Sementara itu, menurut I Nyoman Darma Putra (2012: 328-9), di Bali 15.000 pejuang relawan dilaporkan Mei 1964 untuk siap berangkat ke Kalimantan Utara, tetapi mantan relawan menegaskan bahwa mereka tidak pernah benar-benar meninggalkan pulau. Kebijakan Soekarno berakhir, setelah ia mengundurkan diri pada Sidang Istimewa yang diselenggarakn 12 Maret 1966.***

*Pemerhati kebudayaan lokal.

 

Komentar