INDRAMAYU (CT) – Tim Kuasa Hukum Paslon Toto Sucartono-Rasta Wiguna (TORA), Sahali mengaku sangat kecewa atas keputusan MK, karena MK tidak mempertimbangkan fakta politik dan spirit demokrasi yang digadang-gadang secara bersama dalam berbangsa dan bernegara.
“Sehingga kalau sudah seperti ini, akan memberikan peluang bagi ‘drakula’ politik di Indonesia. Meskipun demikian, kita harus menghargai bersama keputusan MK, ini semakin membenarkan prasangka bahwa MK menjadi lembaga kalkulator,” ucap Sahali kepada CT, Sabtu (23/01).
Kuasa Hukum Paslon Toto Sucartono-Rasta Wiguna (TORA) lainnya, Wilman Supondo Akbar mengaku kecewa dengan putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan kliennya. MK dinilai sangat normatif dan rigid dalam memberlakukan aturan, dan sama sekali tidak memperhatikan keadilan substantif melalui terobosan hukum.
“Kita kecewa, MK sangat kaku dalam memberlakukan aturan. MK tidak lebih sebagai kalkulator saja. Hanya tukang hitung apakah ini di bawah atau di atas 0,5 persen. Ini sangat disayangkan,” tutur Wilman.
Menurutnya, sikap MK sangat disayangkan. Lembaga hukum sebesar dan sewibawa itu sebenarnya memiliki kewenangan besar untuk melihat aspek hukum progresif demi mencapai keadilan substantif, dan bukan hanya melulu sebagai “mesin hitung” ketentuan normatif sebagaimana Undang Undang nomor 8 tahun 2015, tentang pemilukada yang berkaitan dengan selisih suara sebagai syarat gugatan.
“Dan ini tidak hanya di Indramayu, hampir seluruh daerah yang ditolak gugatannya karena tidak memenuhi pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015. Kalau urusannya hanya menghitung selisih suara sebagai syarat gugatan, sepertinya tidak butuh seorang hakim konstitusi,” katanya.
Selama persidangan gugatan pilkada, dia melihat banyak hak konstitusi warga negara yang tidak terakomodasi lewat putusan MK, bahkan seolah MK membenarkan terjadinya pilkada yang pada prosesnya penuh kecurangan dan hanya berkutat pada hasil akhir berupa penghitungan suara.
“Banyak sekali pelanggaran pilkada yang tidak diperhatikan. MK melulu hanya sebagai kalkulator. Padahal selain hasil akhir, proses juga sangat penting. Ini kalau kita sepakat perlunya demokrasi yang jujur dan adil,” ujarnya.
Wilman dan sejumlah advokat juga melihat pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 telah mengekang hak konstitusi warga negara, dan tidak sesuai dengan semangat pemilu jujur dan adil. Dalam diskusi antar advokat selama di MK, muncul keinginan untuk mendesak agar Undang-Undang itu direvisi, khususnya pasal 158 yang mensyaratkan gugatan pilkada dengan selisih suara maksimal 0,5 persen.
“Kita lihat pasal 158 mengekang hak konstitusi dan demokrasi. Ini harus direvisi. Saya sedih, hakim setingkat MK hanya menjadi mesin hitung suara,” tandasnya. (Dwi Ayu)