Keagungan sang Kanjeng Adipati

Oleh NURDIN M. NOER
 
MENJADI bupati, bisa jadi merupakan dambaan sebagian besar rakyat. Ia merupakan pembesar atau pengageng di daerahnya. Di mana-mana selalu disambut dan dielu-elukan. Payung dan pakaian kebesaran serta sejumlah ponggawa merupakan sisi ritual pamong praja yang harus dilakukan. Apalagi pada masa lalu, sosok bupati atau lazim dijuluki “Kanjeng Adhipati” merupakan tahta kecil yang bisa dipangku semua orang.

Tak ringan memang untuk menjadi seorang adipati–sebutan untuk ponggawa tingkat tinggi bawahan raja yang saat ini disebut sebagai bupati. Sebutan Adipati biasanya dibarengi gelar kebangsawanan “kanjeng”, sehingga secara lengkap sebutan itu menjadi “Kanjeng Adipati”, sebutan terhormat untuk bawahan raja yang memiliki wilayah kekuasaan yang disebut kadipaten atau kabupaten.

Hidup di lingkungan kadipaten sangat eksklusif, rumah kediamannya dilingkungi tembok yang tinggi, sementara pada pintu depan belakang dan samping dijaga para ponggawa yang siap dengan tombak, panah dan keris. Mereka siap menginterogasi dan menangkap siapapun yang dicurigai. Di mata masyarakat Jawa atau mungkin juga Nusantara, jabatan bupati masih dianggap sebagai prestise dan prestasi luar biasa. Di atas jabatan rata-rata masyarakat kebanyakan.

Ia adalah seorang priyayigung yang kedudukannya di bawah Rajagung Binantara. Sikap hidup ala priyayi menjadi pengertian dasar dalam  pembinaan gambaran hidup pada umumnya di Jawa dan seluruh Indonesia. Rakyat  jelata  makin  terpikat oleh sikap hidup tersebut sebagai suatu gambaran ideal mengenai usaha untuk memperbaiki nasib hidup di hari depan (Soedarso, Korupsi di Indonesia, Djakarta 1969 dalam S De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Kanisius 1976)

Hormat yang harus diberikan kepada pangkat berbeda-beda menurut kasusnya. tetapi perbedaan tersebut bukan kualitatif melainkan kuantitatif, dengan lain  perkataan hormat bagi siapa saja yang lebih tinggi/banyak/bijaksana, tetapi  makin tinggi pangkatnya makin besar juga hormat yang harus diberikan, sehingga kadang-kadang menyerupai sikap menjilat.

BACA JUGA:  Pukul Siswanya, Oknum Guru SMPN 1 Karangwareng Kena Sanksi

Kehidupan para priyayi, adipati dan raja pada masa lalu maupun kini tak lepas dari tontonan “ronggeng.” Kata ronggeng berarti penari, pesinden (pen) atau perempuan dengan moral yang longgar. Apa pun artinya, kehadiran wanita-wanita itu sangat ditekankan. Tampaknya “main perempuan” dalam berbagai tingkatan juga merupakan budaya priyayi (Kuntowijoyo; 2004: 59).

Harta, tahta dan wanita yang menekankan pada ”tiga ta” bukan ditekankan pada perempuan pemimpin, tetapi untuk lelaki pemimpin. Padahal “tiga ta” bisa dimaknai sebagai “harta, tahta dan pria”. Mengapa? Lelaki sebagai “penguasa” jagat seperti gelar Raja Jawa Sultan Agung yang terkenal itu, yakni Khalifatullah fil Ardhi, Sayyidin Panatagama, Senopati ing Ngalogo. Lengkaplah kekuasan sang raja termasuk bawahannya sang adipati. Meski demikian, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang terkenal dengan segala otoritas kekuasaannya itu masih berpesan arif kepada para adipati bawahannya. Dalam “Serat Nitipraja” yang terkenal itu, ia wanti-wanti agar sang adipati bisa mengemban kearifannya dan selalu melihat rakyat dan ponggawa kecil di bawahnya.  (NMN)***

Komentar