Oleh Muhamad Syahri Romdhon*
DUA tahun lalu, saya atau tepatnya kami, tak hentinya merapal doa untuk proses kelahiran seorang buah hati. Semoga dia lulus melewati tahap yang paling berkesan dalam hidupnya, keluar dengan sehat selamat, teriak lantang. Tak terkecuali untuk si dia, yang tak bosan menahan sakit, dan membalasnya dengan tangis bahagia.
Selain sehat dan selamat, salah satu doa andalan adalah semoga sang putra atau putri menjadi anak yang baik, berbakti pada orang tua, keluarga, bermanfaat pada sesama makhluk ciptaan-Nya serta alam semesta, juga agama nusa dan bangsa. Barisan doa lainnya juga tak kunjung henti absen pada tiap detik yang berdetak.
Kiriman pesan berisi doa dari orang tua, sanak keluarga, kerabat, kawan dan lainnya juga tak dapat dipungkiri, terus datang silih berganti. Mereka mendoakan semoga anaknya sholeh/sholehah dan tentu berbakti. Doa yang mereka kirimkan, tentu cerminan dari harapan mereka terhadap anaknya masing-masing.
Doa-doa tersebut diajarkan dalam kitab suci Alquran, antara lain: pada surat Alfurqan-74, Alimran-38, Maryam-4-6, Ibrahim-40, dan lainnya. Tak hanya mengajarkan doa, Allah juga memerintahkan agar anak patuh dan berbakti pada orang tua. Perintah ini tersebar pada sejumlah surat antara lain: Alisra-23-30, Alahqaf-15-18, Luqman, 12-19, Alanam-151, Annur-59, dan lain sebagainya.
Namun, di sisi lain, Allah justru memberi warna berbeda, yakni memerintahkan anak tidak mematuhi kedua orang tuanya, ketika memaksa menyekutukan Allah. “Dan Kami telah mewasiatkan manusia (wasiat yang baik) terhadap kedua orang tuanya dan jika keduanya memaksakanmu mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembali kamu, lalu Aku kabarkan kepada kamu apa yang kamu kerjakan” (Surat Al-ankabut ayat 8)
Profesor Muhamad Quraish Shihab dalam hasil karyanya, Almisbah volume sepuluh membahas ayat dengan menyantumkan sejumlah riwayat sebab turunnya ayat. Kemudian secara luas, beliau menerangkan bahwa ayat tersebut melarang siapapun walau anak untuk taat kepada makhluk – walaupun kedua ibu bapak – apabila ketaatan itu bertentangan dengan perintah Allah Swt. “la tha’ata li makhluqin fi ma’shiyat allah/ tidak dibenarkan taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah”. Demikian sabda Rasullullah SAW.
Larangan mematuhi orang tua yang semula menggunakan kata “memaksa menyekutukan Allah”, menjadi memilki makna lebih luas dengan larangan mematuhi orang tua jika “menentang perintah Allah”. Semisal orang tua (secara langsung atau tidak) menyuruh atau mengajak anak kerjasama merusak alam (yang bertentangan dengan surat Ar-rum; 41-42 dan Al-a’raf; 56-58), berperilaku korupsi (bertentangan dengan Ali-imran; 161, Al-baqarah; 188), hingga mengajak membenci atau memusuhi semasa manusia (bertentangan dengan Fushilat;34, Almumtahanah;7-9). Kesemuanya itu tidak menggunakan kata “menyekutukan Allah”, namun bertentangan dengan perintah Allah.
Sekilas mungkin kita bertanya, mungkinkah ada orang tua mengajak pada hal-hal demikian? Jawabannya, bertebaran di mana-mana, semisal saat orang tua menyuruh anaknya buang sampah di kali, mengajak anak pergi saat jam belajar belum usai, dan melarang berteman dengan teman kelasnya karena “perbedaan”.
Penjelasan ini menjadi autokritik bagi kita, bahwa ketidaksadaran orang tua kerap kali menjadi kebiasaan anak. Kemalasan orang tua menjadi hal yang paling ditiru baginya, dan ketidaktahuan orang tua justru menjadi tuntunan bagi mereka.
Esok atau lusa, kita tidak perlu kaget apalagi marah, saat mereka dewasa, belajar, mengerti dan merdeka menentukan sikap. Bukan tidak lagi berbakti, tapi mereka justru menyadari juga mengajari pada kita, ada hal tidak baik dari yang kita berikan. Saat itu terjadi, ada baiknya kita jujur, dan berani berucap, “Jangan patuhi kami, Nak!” []
*Anggota Pe-Tani Literasi, dan santri di Komunitas Ghuraba Circle