Desaku

Oleh DADANG KUSNANDAR*

DESAKU yang kucinta, pujaan hatiku (dst). Masih ingat lagu Desaku? Lagu masa kecil yang menggambarkan keindahan panorama desa dengan alamnya yang asri. Desa yang permai. Tempat lahir beta. Desa yang didambakan dan dirindukan. Desa yang menjadi tujuan manakala mudik lebaran dan berbagai acara keluarga besar karena di desa handai tolanku berada. Desa menjadi lahan subur pembangunan yang difasilitasi negara.

Saat ini terdapat 81.248 desa/ kampung di Indonesia. Tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, puluhan ribu desa itu dengan konstruksi budaya masing-masing saling menopang untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi puluhan ribu desa itu harus dibangun dan ditata dengan tetap mempertahankan ciri khasnya sehingga keberbagaian/ kemajemukan senantiasa menjadi penanda kesatuan yang padu, sebagaimana tercermin dalam slogan abadi Bhineka Tunggal Ika. Desa harus tetap mencerminkan spesifikasinya sebagai tempat singgah dan tempat istirahat tanpa mengeliminir dinamika ekonomi warganya.

Tahun 2014 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi terbentuk. Pembentukan kementerian ini fokus pada pengembangan desa hingga desa berubah menjadi desa yang sesuai harapan pemerintah.

Desa di Indonesia kerap menjadi objek permainan politik pemerintah pusat. Sebut saja adanya Badan Perwakilan Desa (BPD) yang pada praktiknya menjadi kendala pelaksaan tugas kepala desa. BPD ketika awal pembentukannya seakan memerankan diri sebagai rival kepala desa. Alhasil, pembangunan desa terkendala oleh arogansi masing-masing pihak. Anggota BPD mempunyai hak mengajukan rancangan Peraturan Desa, mengajukan pertanyaaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, serta memperoleh tunjangan.

Dengan keanggotaan BPD yang dipilih sebagai wakil dari penduduk desa yang bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat yang terdiri dari Ketua RT/RW, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat, serta berjumlah gasal dengan jumlah sesuai ketentuan yang berlaku ~BPD sepertinya menjadi sejenis “hantu” yang menakutkan bagi kepala desa.

BACA JUGA:  Meng-alqurankan Ucapan Sendiri

Ingat desa ingat pula tentang anggaran Rp 1 miliar/ tahun. Maka jangan heran jika sampai ada 5 orang bertarung untuk merebut jabatan kepala desa.

Disharmoni

Desaku yang permai sejatinya bukan sekadar objek permainan politik dan kebijakan pemerintah pusat, akan tetapi menjadi sasaran pembangunan dan pemberdayaan tanpa mengesampingkan karakter masyarakat desa berikut budaya yang mengasuhnya. Dengan kata lain apabila desa seluruh Indonesia diatur oleh sebuah undang-undang lantas dipaksakan pelaksanaannya oleh dua kementerian negara, maka di sini akan muncul disharmoni. Ketidakharmonisan yang berangkat dari tumpang tindih kebijakan, selain ketidakjelasan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antarkementerian.

Agar desa menjadi permai dan masyarakatnya tetap bergerak/ bekerja sesuai profesi yang disandang, sebaiknya campur tangan pemerintah pusat tidak berlebihan. Biarkan desaku yang permai diurus oleh masyarakatnya sendiri. Pemerintah sebagai administrator dan fasilitator hanya bertugas memantau perkembangan desa.

Untuk menjadi desa yang permai seperti digambarkan lagu Desaku, sekali lagi, kebijakan politik dan perundang-undangan yang disusun sebaiknya memerhatikan kausalitas yang membingkainya. Desa sebagai harapan adalah desa yang memberikan rasa nyaman bagi penghuninya, sehingga kontribusi bagi pembangunan negara tetap dapat dilakukan. Salah satu kriteria menuju desa yang permai ialah kebijakan politik pemerintah pusat dan kejelasan sistem perundang-undangan desa. []

*) penulis lepas, tinggal di Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *