dok ISTIMEWA
PENDUDUK antre makanan pada masa malaiyse 1926 di berbagai tempat.
Oleh: Nurdin M Noer*
PADA masa itu Gemeente Cheribon mulai menampakkan kemajuannya dan berkedudukan sederajat serta sejajar dengan Kota Besar Bogor dan agak di bawah Kota Besar Malang. Adapun salah satu unsure yang menyebabkan kemajuan itu Kota Cirebon mempunyai pelabuhan yang menjadi saingan berat bagi Tanjung Priok. Kota Cirebon yang berada di Pantai Utara Jawa Barat – sesudah Jakarta – menjadi pusat pergaulan dan kehidupan orang-orang Eropa, berkat adanya pabrik-pabrik gula, B.A.T dan industri lainnya. Pada masa itu pula pemerintah kota melakukan pelayanan masyarakat dengan membuka perluasan air minum (waterleiding), pembukaan kuburan Kemlaten, perbaikan pasar dan kampung (ibid).
Namun pada masa itu merupakan masa sulit (1956), tetapi masih lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi 1926. Pada masa itu dunia mengalami bencana kelaparan yang dikenal dengan “malaise” (depresi ekonomi). Dalam masa sulit itu R.H. Enoeh (ibid) menggambarkan kondisi masyarakat Kota Cirebon masih merasakan harga-harga kebutuhan yang masih murah. Ia menggambarkannya sebagai berikut :
“Ketika saya dalam bulan Januari 1929 baru datang di Cirebon, masyarakatnya sebagaimana halnya keadaan negara pada umumnya waktu itu – sedang diliputi malaise (depresi), merosotnya kehidupan ekonomi. Namun barang-barang keperluan sehari-hari sangat murah, misalnya ; seratus kilo beras nomor wahid harganya tiga ringgit, sebutir telur ayam atau telur asin dua sen. Burung tekukur yang dijual di pasar, yang dagingnya bagi saya merupakan makanan enak yang istimewa dapat dibeli dengan 3,5 sen (seteng). Rokok seperti keluaran BAT bungkus sedang harganya 10 sen dan buatan luarnegeri seperti Wesminster dan Camel hanya 25 dan 35 sen. Cerutu luarnegeri yang istimewa, seperti merek Karel I dan Regal yang sekarang hampir tak dapat terbeli dan terkenal harum dan enak rasanya dapat diisap dengan harga lima rupiah dan tiga setengah rupiah satu peti yang berisi 50 batang. Walaupun keadaan serba murah, akan tetapi banyak kalangan masyarakat yang menjadi korban jeratan ‘acceptatie’ (lintah darat, pen) ini. Malahan para pegawai negara pada umumnya dari pangkat terendah sampai yang tertinggi terhinggapi penyakit masyarakat itu yang terus menjalar sampai saat pendudukan Jepang.” (ibid).
Stasiun KA Kejaksan merupakan generasi pertama dari pembangunan stasiun kereta api pada masa penjajahan Hindia Belanda. Jalur yang membentang dari Jakarta dan Semarang pada masa itu. Data yang ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon mencatat, stasiun ini dibangun pada tahun 1911 atas prakarsa Staatsspoorwegen (perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan jalur kereta api ini dilakukan untuk mempercepat mobilitas barang dan penumpang, yang perintisannya mulai dilakukan sejak 1893 untuk jalur SCS (Semarang Cheribon Stoomtram-Maatschappij). Sedangkan jalur Cirebon – Cikampek dibangun sejak 1909 dan Cirebon Kroya sejak 1912. Angkutan penumpang pengusaha Eropa termasuk pekerja rodi untuk Kota Batavia atau sebaliknya dilakukan melaluis stasiun ini. Sejak Indonesia merdeka stasiun ini menjadi milik dan dikelola PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi III Cirebon.
“Sebagian besar bangunan yang ada di lingkungan stasiun ini benar-benar djadoel (djaman doeloe),” kata Arie F, yang saat itu menjabat Wakasie Dipo PT KAI Daops III Cirebon. “Lihat saja bangunan yang benar-benar kokoh, seperti bengkel kereta dan gudang air itu.”
Dipo (bengkel kereta api) yang berada di lingkungan Stasiun Cirebon dibangun setahun setelah stasiun besar tersebut didirikan, sekira tahun 1913. Di bengkel itu masih tersimpan lokomotif diesel pertama yang dibuat General Electric tahun 1953. Wong Cerbon menamai loko tersebut dengan loko sepur “Gajah Mada.”. Keaslian tersebut juga ditunjang dengan masih utuhnya alat putar lokomotif yang juga dibuat 1913 dengan kondisi yang masih normal.
Dalam ruangan stasiun terdapat pintu gerbang yang kokoh dengan rantai dan gembok asli tertempel di situ. Ada empat pintu gerbang yang berukuran sama yang ditutup dengan pintu besi Anderson. Bagian atas pintu dinaungi kanopi warna hijau berbentuk siku, terbuat dari rangka besi dan beratap fiber glas sebagai bangunan tambahan yang dibangun setelah masa kemerdekaan. (NMN)***
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.