Citrust.id – Forum pengada layanan (FPL) desak pemerintah untuk rampungkan peraturan turunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
FPL mencatat, ada 1.510 kasus kekerasan seksual atau 0,5 persen selama Januari-November 2022. Data tersebut berasal dari 10 anggota FPL di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Kalimantan.
Koordinator FPL, Sa’adah, menyampaikan hal itu saat konferensi pers memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Jumat (2/12/2022).
“Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan seperti gunung es. Jumlah tersebut lebih banyak yang tidak melapor,” ungkapnya.
Data kasus kekerasan tersebut membuktikan, banyak korban kekerasan seksual berani melapor, baik ke lembaga permerhati perempuan maupun pihak berwajib. Namun di sisi lain, kekerasan seksual masih tinggi.
“Ini perlu penanganan serius oleh seluruh instansi terkait, agar tidak ada lagi korban kekerasan seksual,” ujar Sa’adah.
Kekerasan seksual berbasis digital mendominasi dengan total ada 518 kasus. Dari jumlah kasus itu, sebagian besar pelakunya.adalah orang terdekat korban. Padahal, seharusnya orang terdekat sebagai pelindung dari korban.
“Kami juga sampaikan, ruang digital bagi korban kekerasan seksual juga tidak aman. Sementara, UU TPKS belum menjadi dasar bagi penegak hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual. Hal ini yang ingin kami sampaikan kepada pemerintah,” ungkap Koordinator Forum Pengada Layanan.
Oleh sebab itu, FPL desak pemerintah, dalam hal ini KPPPA dan Kemenkumham, untuk rampungkan peraturan turunan dari UU TPKS yang terkait dengan kekerasan seksual. Di samping itu, menyelesaikan pasal dari turunan UU TPKS.
“Harus segera merampungkan. Jangan menunda-nunda agar UU TPKS bisa diimplementasikan aparat penegak hukum,” tegas Sa’adah.
Pihaknya juga meminta pihak kepolisian tindak menunda penyidikan kasus kekerasan seksual, dan membangun lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan seksual.
Selain itu, mengakui peran pendamping, memberikan visum gratis, dan membangun literasi digital yang aman dari kekerasan seksual. (Haris)