Wabah Covid-19 dan Patologi Sosial

  • Bagikan

Oleh: Sudrajat (Pemerhati Sosial)

Sejak kali pertama mewabahnya Coronavirus Disease (COVID-19) di Wuhan-China pada Desember 2019 lalu, nyaris kita tak pernah membayangkan jika virus yang menginfeksi manusia ini bakal begitu cepat dan luas penyebarannya. Karena penularannya yang begitu cepat dari manusia ke manusia dan terus menyebar hingga ke hampir seluruh belahan dunia, sehingga WHO pada Rabu, 11 Maret 2020 secara resmi mengumumkan virus corona (covid-19) sebagai pandemi. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO mengatakan, “Ini pandemi pertama yang disebabkan oleh coronavirus,” saat mendeklarasikannya di Geneva, Swiss.

Cerita keganasan wabah yang pernah dikisahkan dalam beberapa film seperti : Contagion yang dirilis 2011 lalu ternyata bukan semata jalan cerita imajiner. Contagion adalah thriller medis yang bercerita tentang virus yang berasal dari China yang dibawa oleh seorang pengusaha wanita (Gwyneth Paltrow) yang kemudian pulang ke Amerika Serikat. Nah, ternyata cerita film tersebut saat ini di Indonesia dan bahkan di hampir seluruh belahan dunia sedang benar-benar dialami dengan adanya ancaman pandemi COVID-19.

Keganasan COVID-19
Sebagaimana kita tahu, keganasan COVID-19 menyerang tanpa memandang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, tak pula memilih warna kulit. Semua berpotensi terinfeksi. Nyaris di hampir semua negara dibelahan dunia sedang panik mengatasi pandemi ini.

Berbagai upaya negara sudah dan terus dilakukan untuk mencegah keganasan penyebaran COVID-19, mulai dari upaya social distancing / physical distancing (anjuran orang sehat untuk membatasi kunjungan ke tempat ramai dan kontak langsung dengan orang lain). Beberapa negara lain bahkan sudah memilih jalan ekstrim yaitu menerapkan kebijakan lock down (penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak).

BACA JUGA:  Kendaraan yang Masuk Kota Cirebon akan Didata

Kebijakan ini bukan hanya membatasi kegiatan dalam ruang sosial, bahkan kegiatan ritual keagamaan yang sifatnya melibatkan banyak orang untuk sementara ditiadakan.

Dampak mewabahnya COVID-19 di Indonesia yang sudah merenggut banyak nyawa manusia memang sudah menjadi teror hebat sehingga pukulannya mampu melumpuhkan berbagai sektor. Pelayanan publik melambat bahkan statis karena instansi pemerintah maupun swasta diwajibkan bekerja dengan sistem “work from home”, proses belajar mengajar tatap muka di sekolah maupun kampus ditiadakan dan diganti secara on-line.

Sementara itu di sektor ekonomi, dampak pandemi COVID-19 telah memporakporandakan sendi-sendi ekonomi, baik sektor formal maupun informal. Ribuan rakyat , terutama yang bekerja di sektor informal mulai terpuruk akibat situasi yang tak menentu. Demi menanggulangi wabah ini, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten terpaksa harus menguras APBN dan APBD dengan merealokasi anggaran ratusan milyar hingga ratusan triliun rupiah untuk menangani tanggap darurat.

Patologi Sosial
Situasi serba tidak menentu dan mencekam seperti ini, membuat pemerintah maupun masyarakat panik. Terlebih lagi dibumbui dengan bertebarannya lalu lalang informasi di dunia maya yang bersifat sampah sehingga membuat ruang sosial makin gaduh (noice). Eskalasi keganasan COVID-19 yang semakin memuncak dibikin makin menakutkan oleh serbuan berita bohong (hoax) dan menyesatkan yang tak kalah ganasnya.

Masyarakat awam yang tak memiliki nalar kritis kerap termakan berita-berita hoax menyesatkan. Hanya berbekal pengetahuan seadanya dan informasi sepihak saat ini masyarakat memasuki fase amat mengerikan, yang oleh Sigmund Freud (1856-1939), sebagai patologi sosial. Yaitu perilaku menyimpang yang ditandai adanya pola-pola kepribadian yang tidak kuat disertai dengan pengalaman-pengalaman atau konflik-konflik ketidaksadaran antara komponen-komponen kepribadian, ego, dan superego.

Indikasi penyimpangan sosial (patologi sosial) yang teramat mengerikan yang belakangan ini dipertontonkan misalnya sikap “anti sosial” atau “deviasi sosial” dari kelompok masyarakat dalam bentuk kebringasan menolak keras proses pemakaman jenazah yang diduga terinfeksi COVID-19. Di Jakarta, kabarnya para tenaga medis (perawat) yang kost / tinggal disekitar warga diusir. Padahal mereka para tenaga medis layaknya pahlawan yang telah bekerja mempertaruhkan hidup-mati demi merawat dan menyelamatkan para pasien korban wabah COVID-19 itu.

BACA JUGA:  Tradisi Masyarakat Tionghoa yang Kian Pudar

Fenomena penolakan brutal terhadap proses pemakaman jenazah tadi bukan hanya sekedar krisis kemanusiaan, namun bisa disebut melecehkan syariat agama dalam memuliakan jenazah. Padahal mereka para korban wabah virus mematikan ini dalam pandangan agama Islam, masuk kategori sebagai “syahid”.

Sikap sekelompok masyarakat yang pongah dan kehilangan kewarasan itu sungguh merupakan wujud “cacat sosial” yang paling parah dan nyata. Tindakannya melukai lubuk hati yang paling dalam.

Memperkokoh Solidaritas
Dalam suasana duka bangsa bangsa dunia tak terkecuali di dalam negeri kita sendiri, mestinya dijadikan kesempatan kita untuk mengaktualisasikan spirit menggalang solidaritas, menebar kepedulian (simpati), bahkan mungkin berempati (turut merasakan) berbagai kesulitan yang dihadapi sesama warga bangsa ini.

Suasana kebathinan yang amat memprihatinkan layaknya kita jadikan bahan refleksi agar kita lebih bijaksana untuk makin memperkokoh rasa persaudaraan, senasib sepenanggungan dan kembali merajut kohesifitas sosial masyarakat kita yang sudah terlanjur tercabik-cabik ini. Wallahu’alam. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *