Oleh Dadang Kusnandar
PENDIRI Muhammadiyah Ahmad Dahlan mengatakan, “Hendaklah setiap warga Muhammadiyah jangan tergesa-gesa menyanggupi suatu tugas yang ditetapkan oleh sidang persyarikatan. Telitilah terlebih dahulu keputusan sidang yang menetapkan engkau untuk melakukan suatu tugas apakah pemenuhan tugas itu bersamaan dengan tugas yang telah engkau sanggupi sebelumnya.
Jika itu terjadi, hendaklah kau permudah memenuhi tugas dalam waktu yang tidak bersamaan dengan tugas lainnya, agar engkau tidak mudah mempermainkan keputusan sidang dengan hanya mengirimkan surat atau memberi tahu ketika mendapati waktu pemenuhan tugas itu bersamaan dengan tugas lainnya yang telah engkau sanggupi sebelumnya.”
(Mulkhan, Munir, Prof. Dr. SU. 2007. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah).
Ketika kritik menjadi kendala, ketika masukan yang mengabarkan luka sendiri dinilai sebagaimana ulah yang memalukan persyarikatan ~ketika itulah diam-diam kita menanam dan mengaktifkan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak manakala detonator terbuka.
Bukankah pertanggungjawaban Muhammadiyah tidak terbatas bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi kehidupan bangsa dan peradaban dunia yang lebih manusiawi, berkemakmuran, berkeadilan dan bersih dari korupsi.
Etos ijtihad dan tajdid tidak hanya bergerak di wilayah ritual tapi juga dalam wilayah publik sebagai bagian dari kesalehan sosial. Saya tergelitik membaca berita bagus ini walaupun terlambat.
Muhammadiyah yang saat ini telah memiliki ribuan amal usaha (Perguruan Tinggi, SD, SMP, SMA, Pesantren, Rumah Sakit, dan Panti Asuhan), kesemuanya mengelola keuangan dan apabila mengelola keuangan maka persoalan keuangan akan menjadi kondisi yang sangat perlu untuk menjadi perhatian.
Hal tersebut untuk membuktikan pada publik bahwa muhammadiyah juga proaktif terhadap bahaya laten Korupsi.
Di sisi lain, sebagai ormas Muhammadiyah harus lebih aktif mengkritisi kebijakan pemerintah yang selama ini kelihatan kurang merespon kritikan masyarakat terhadap penyimpangan yang terjadi di pemerintahan, termasuk di dalamnya adalah korupsi yang masif.
Berita lain yang menggelitik berbunyi demikian: Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia setuju apabila hukuman mati juga diberlakukan untuk para koruptor. Hukuman mati dianggap perlu karena dapat memberikan efek jera kepada orang yang ingin melakukan korupsi.
“Saya setuju dengan upaya hukuman mati karena memberikan hukuman efek jera karena koruptor mengambil hak orang lain,” kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin. April 2014 itu Din menyatakan bahwa dirinya sangat setuju perihal wacana hukuman mati bagi koruptor.
Pasalnya perbuatan korupsi dianggap sangat mematikan begitu banyak rakyat serta negara secara ekonomis maupun materil.
“Karena selama ini baru para pelaku teroris maupun narkoba yang sudah divonis untuk hukuman mati walaupun undang-undang tentang hal itu sudah ada namun belum direalisasikan,” tambahnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua MUI Amidan. Dirinya mengatakan dalam ajaran Islam dapat dianalogikan dengan Qisos, yaitu dengan penekanan terhadap pentingnya hak asasi manusia.
“Oleh karena itu sebaiknya hukuman mati segera dilaksanakan untuk para pelaku koruptor agar dapat membuat efek jera,” pungkas Amidan.
Lembaga Anti Korupsi di tingkat persyarikatan penting untuk mencegah tindak korupsi di kalangan warga Muhammadiyah. Muhammadiyah yang telah berkembang menjadi organisasi besar dengan kepemilikan aset yang besar pula.
Pimpinan PDM Kota harus tegas terhadap segala bentuk pelanggaran keuangan atas nama persyarikatan yang berakhir pada kepentingan sekelompok orang.
Ingatlah aset Muhammadiyah bermula dari akumulasi keuangan umat dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan.***
*)Penulis adalah warga Muhammadiyah Kota Cirebon