Majalengkatrust.com – Di tengah musim kemarau dan sepinya pekerjaan di sawah dan kebun serta di Parik Genteng akibat banyak yang berhenti beroperasi, warga Blok Dukuh Hurip, Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka berupaya budidaya katel untuk menambah penghasilan mereka.
Katel adalah sayuran khas Majalengka, berasal dari tanaman kacang kedelai, ketika tanaman baru mulai tumbuh maka akan muncul keping membelah dua. Itulah yang disebut katel dan biasa disayur .
Menurut keterangan pembidaya katel, Mimin dan Atin, mereka membudidayakan katel sejak memasuski musim kemarau tepatnya setelah mereka berhenti bekerja ke Pabrik Genteng dan tidak ada pekerjaan di sawah. Sementara biaya hidup harus tetap dipenuhi baik untuk keperluan makan ataupun untuk membiayai sekolah anak mereka.
Keduanya memanfaatkan lahan kebun milik tetangganya yang tidak digarap karena tidak ada sumber air, sedangkan tanaman katel cukup hanya dengan disiram setiap pagi itupun cukup hanya basah tanpa harus diguyur.
Budidaya katel bisa dipanen setiap hari sehingga mereka bisa memperoleh uang sekitar Rp 70.000 dari hasil panenya sebanyak 20 liler katel.
Agar bisa panen setiap hari, merekapun setiap hari membuat pesemaian berukuran sekitar 2 m x 1,5 m dengan kedelai sekitar 3 kg. Dari persemaian sebanyak itu mereka bisa memperoleh katel sebanyak 20 literan. Hasil panen mereka jual kepada bandar yang baisa menjualnya ke pasar-pasar tradisional di Majalengka dan Kadipaten.
“Panen 20 liter itu kalau tanamannya bagus, karena terkadang ada kedelai yang kurang baik sehingga ketika ditanam semua busuk, atau kedelai yang kurang baik sehingga saat di tanam biasanya ada yang hitam jika kondisi hitam tak bisa dijual atau juga membusuk karena tanahnya bekas ditanami tanaman yang sama,” kata Atin, Selasa (12/09).
Makanya menurut Mimin budidaya katel tidak bisa dilakukan dibekas tanaman sebelumnya karena tanaman akan membusuk, tanaman harus dilakukan di lahan baru, tak heran bila pembudidaya katel terus berpindah-pindah lahan.
Untungnya menurut Atin dan Mimin, ada beberapa warga yang merelakan lahannya untuk dimanfaatkan ditanami. Hanya dia meilih tempat yang dekat dengan sumber air, untuk memudahkan penyiraman.
“Saat ini saja kami menanam jauh ke sumber air jadi harus cape mengangkut air untuk menyiram,” ungkap Mimin.
Menurutnya keuntungan dari budidaya katel tidak seberapa, namun itu tetap dilakukan agar bisa memperoleh uang untuk meringankan beban hidup keluarganya.
Pasalnya, pendapatan Rp 70.000 dari 20 liter katel yang dijualnya tersebut itu belum dikurangi modal kedelai sebesar Rp 8.000 perkilogram dan biaya memetik katel sebesar Rp 500 per liter. (Abduh)