Oleh UYUNG NUHA*
AKARNYA dari kalimat “kebebasan pers” yang sering diagung-agungkan oleh para jurnalis dan pengelola media ketika mencari dan mengolah informasi. Karenanya, pekerja pers seolah memiliki teritorial yang untouchable. Semacam imun dari segala kemungkinan yang bisa membuatnya tidak nyaman dan tak beraturan. Namun, kebebasan macam apa yang hendak ditunjukkan ketika pers berhadapan dengan situasi tahun politik (Pilkada, Pileg, dan Pilpres)? Sampai sejauh mana pers melibatkan diri dalam ruang-ruang politik?
Muhammad Syahri Romdhon (Kabar Cirebon, 1 Maret 2018) menulis, keikutsertaan media dalam momen politik tak dapat disangkal. Media massa menjadi ruang demokrasi bersama, keterbukaan, dan informasi. Media mampu menciptakan realitas baru dari sebuah informasi atau kejadian yang diliput para wartawannya yang kemudian dibuat berita. Isu, bias, framing, dan pengagendaan dengan mudah dibuat berdasarkan ketertarikan si wartawan atau perusahaan media tersebut. Pertimbangannya bisa berupa ideologi atau hasrat ekonomi.
Menggarisbawahi kata ideologi dan hasrat ekonomi dari kalimat terakhir pendapat jurnalis Kompas TV yang akrab disapa Aray itu, cukup menggelitik dan seolah menjelma otokritik bagi wartawan dan perusahaan pers pada diskusi pertama Komunitas Jaga Jari di Saung Perjuangan Kota Cirebon, Jumat (2/3/2018).
Nampaknya, tahun politik menjadi magnet keberuntungan sembari parpol menyiapkan amunisi dan kandidat untuk bertarung dan memperebutkan kursi kekuasaan untuk selama jabatan lima tahun. Sehingga, Aray menilai, Pemilu menjadi zona rawan independensi wartawan. Di depan hadirin, Aray menyandingkan dan menjabarkan data keterlibatan media massa yang diperoleh dari hasil riset Remotivi bertajuk Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014.
“Remotivi melakukan penelitian panjang di sebelas stasiun televisi. Saya membandingkan data yang betul-betul kontradiktif. Kita lihat hasil penelitian di TV One, ini menjadi jelas bahwa di stasiun televisi berbeda-beda beritanya. Padahal, kejadiannya sama, kampanyenya sama, tapi kenapa proporsinya berbeda? Untuk pasangan Prabowo-Hatta frekuensinya sebanyak 34% dan 32% sementara pasangan Jokowi-JK sebanyak 20% dan 14%. Durasi yang diberikan oleh TV One untuk Prabowo-Hatta 36% dan 34%. Sementara pasangan Jokowi-JK 17% dan 13%. Berita positifnya jauh sekali, pasangan Prabowo-Hatta 52% dan Jokowi-JK hanya 4%. Berita netralnya 33% dan 32%. Rivalnya 20% dan 15%. Dan berita negatifnya, Prabowo-Hatta tidak pernah diberitakan,” jelasnya didampingi moderator dari Citrust.id, Sep Andry.
Untuk Metro TV, frekuensi Prabowo-Hatta 25% dan 24%. Jokowi-JK 23% dan 22%. Durasi iklan Prabowo-Hatta 21% dan 10%. Jokowi-JK 41% dan 28%. Tidak ada berita negatif mengenai Jokowi-JK. Hal ini berbanding terbalik dengan TV One yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta. Penelitian di atas bisa diakses secara mudah dan masyarakat bisa memastikan sekaligus memverifikasi keabsahannya. Dari data tersebut, jelas sekali bahwa media berpihak dan tidak independen.
Menanggapi hal itu, salah seorang mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Ikfal Alfazri mengatakan, jika berkaca pada sejarah, melihat Tirto Adhi Soerjo sebagai pelopor, pers berpihak kepada rakyat yang memberikan edukasi dan pergerakan untuk membela kepentingan masyarakat. Lantas, Ikfal juga menanyakan, maksud independensi media massa era sekarang dan ke mana arahnya melihat fenomena-fenomena di lapangan menunjukkan bahwa media massa terkesan lebih memihak kaum elitis dan borjuis.
Menjawab pertanyaan sebuah media melakukan independensi atau tidak, Aray merasa cukup kesulitan. Dari contoh dua media yang telah dipaparkan sebelumnya, cenderung melahirkan sebuah kepentingan tertentu yang sama-sama egois. “Independensi itu adalah nilai, moral, kita tidak memiliki patokan yang jelas. Tapi, kalau mau berkaca kepada kode etik, independensi itu bisa diartikan sebagai memberitakan peristiwa dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, intervensi, dari pihak mana pun. Termasuk intervensi pemilik perusahaan sendiri. Sampai sejauh mana independensi bisa diukur? Contoh ketika dahulu, kita malah justru berpihak kepada kemerdekaan. Tapi kalau untuk sekarang, ada sesuatu semacam pembenaran yang diciptakan oleh media massa tersebut,” ujar Aray.
Pengamatan tersebut bisa dilihat dari kacamata metodologi kuantitatif, dalam hal ini seberapa banyak media massa menyediakan slot iklan bagi para kandidat. Sedangkan secara kualitatif, media menghadirkan isu-isu yang dirasa menjadi kebutuhan publik seperti kemiskinan, lapangan pekerjaan, dan kesehatan. Belum lagi, ketika media menonjolkan sebuah framing yang bisa mengatur dan menggiring sudut pandang masyarakat dalam melihat kandidat. Bahkan ketika kandidat melakukan kontrak-kontrak iklan politik dengan media massa, maka iming-iming menggiurkan soal urusan dapur kantor beres, seolah tak bisa dihindari. Indikasi-indikasi seperti itu yang membuat media masa sulit ajeg dan berdiri tegak membela kepentingan masyarakat.
Di sisi lain, Yudi Arianto yang memperkenalkan diri sebagai bagian dari masyarakat arus bawah pengangguran tapi kelas berat, mencoba merespons independensi wartawan yang mengalami perubahan dan pergeseran. Menurutnya, perubahan penting setelah reformasi adalah kebebasan berpartai politik dan kebebasan pers. Berikutnya, Yudi menanyakan perbedaan jurnalisme independen dan partisan yang identik dengan pasar bebas. Ketika media massa tidak ikut ambil bagian, maka cepat atau lambat akan gulung tikar.
“Berkaitan dengan pasar bebas, pembahasan yang sekarang sedang berlangsung adalah konglomerasi media. Hanya konglomerat-konglomerat yang bisa mempunyai media massa dan memiliki pengaruh. Kalau saya sebut, ketika mereka sudah berada dalam politik elektorat dan dia jelas-jelas memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon, maka media tersebut sudah bisa dipastikan sebagai media partisan. Apalagi tidak memberikan kritik yang terjadi pada saat itu. Hal lainnya, sampai kapan pun media massa adalah bisnis. Sangat naif dan mustahil ketika media massa tidak mencari iklan. Meski, ada media massa yang mendeklarasikan dirinya bukan sebagai roda industri. Cirinya, produk-produk berita terlihat independen dan tidak takut kehilangan iklan,” jawab Aray.
Bagaimana Independensi Jurnalis Cirebon?
Media pasti memihak. Umumnya, media memihak yang biasa disebut underdog. Dan dalam konteks pergerakan dulu maupun kini, memihak yang ketinggalan, ditinggalkan, terlantar, miskin, terbelakang, atau yang termarginalisasikan, kata Jacob Oetama (Basis, 2004). Demi kebenaran yang harus dipertanggungjawabkan, perusahaan pers yang menjunjung tinggi independensi barangkali akan keras berteriak menolak dan menghamba kepada uang, apa pun alasannya. Sementara partisan akan mengambil keuntungan sana-sini bagi dirinya sendiri dan tidak perlu memedulikan omongan yang lain.
Melanjutkan hidup atau kantor tutup adalah simalakama, yang, bisa saja setiap hari menjadi beban pikiran para petinggi dan pekerja media. Sebisa mungkin, taktik, strategi, dan siasat, dicari untuk mempertahankan roda perekonomian agar tetap bergulir. Idealisme pun menjadi absurd, wartawan tukar guling atau sekaligus merangkap marketing sudah biasa terjadi. ‘Lahan-lahan basah’ sudah terkaveling. Iklan-iklan politik menjelang Pemilu menjadi jatah ‘bagi-bagi kue’ yang sayang untuk dilewati. Lantas jika bergeser ke Cirebon yang juga menempati posisi peserta Pilkada, pastinya tak lepas dari sorotan kamera wartawan. Pertanyaannya, sudahkah wartawan sekaligus perusahaan pers di Cirebon membangun independensinya?
*) Penulis adalah pegiat sastra Lingkar Jenar pecinta Kopi Mubtada.