Ilustrasi
Oleh: Bakhrul Amal*
IMLEK bukanlah sekedar perayaan. Imlek merupakan sekumpulan sejarah yang secara turun temurun dirawat, dikhayati, dan kemudian dikembangkan.
Kata Imlek berasal dari kata Yin Li (阴历) yang berarti “penanggalan bulan” atau lunar calendar. Sebab itu di dunia bagian barat, yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utamanya, Imlek diucapkan dengan kalimat Happy Lunar New Year. Imlek sendiri diucapkan ‘imlek’ karena imlek merupakan bagian dari bunyi dialek Hokkian dari kata Yin Li.
Sejarah dimulainya penanggalan Imlek memang tidak pasti. Setiap leluhur memiliki kisah yang berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, sejarah imlek selalu berpusat pada satu hal, yakni perlawan. Imlek adalah perlawanan masyarakat Desa China terhadap raksasa bernama Nian (tahun) yang digambarkan amat buas dan selalu mengincar nyawa masyarakat.
Cerita mengenai Nian tersebut sampai pada generasi selanjutnya dan mereka percaya bahwa raksasa yang dinamakan Nian itu ada. Nenek moyang Cina kemudian memberitahu bahwa ada beberapa hal yang kudu dilakukan agar Nian urung untuk mengganggu. Nian itu takut dengan suara keras drum dan dentingan symbal. Jangan lupa juga, kata Nenek moyang Cina, gantungkan kertas merah yang digulung ke atas pintu rumah karena Nian takut dengan warna merah.
Perlawan itu pun berlangsung terus menerus. Sampai pada akhirnya tibalah saat dimana Nian itu ditaklukan. Penaklukan Nian itu disebut dengan masa berlalunya era Nian, dan menuju Guo Nian atau Tahun Baru. Titik itulah yang menjadi pangkal dimulainya suatu penanggalan Cina baru. Tahun Baru Imlek pertama.
Periode Perjuangan Cina-Indonesia
Seperti sudah menjadi darah daging, semangat perlawan Cina terhadap raksasa (The Big Other) itu terpancar juga hingga ke Indonesia. Tercatat nama Nie Hoe Kong, tokoh masyhur kebangkitan Indonesia asal Cina, pernah memimpin pemberontakan terhadap Belanda pada tahun 1740. Perang itu setidaknya membuat hampir kurang-lebih 10.000 orang Cina terbunuh dan mayatnya di buang ke kali angke, lalu munculah Sejarah Kali Angke.
Pada zaman paceklik atau zaman dimana Belanda berkuasa di tahun 1900-an, pejuang Cina masih terus ikut bersumbangsih. Sebut saja orang-orang seperti Lie Tiong Pik seorang pedagang di daerah Cepu yang semenjak muda sudah mengikuti pergerakan anti-Belanda. Pada tahun 1926 Lie Tiong Pik bersama saudaranya Tjan Tok Giap dan Tjan Tok Gwan dipenjarakan di Blora dan di buang ke Boven Digoel. Di sana mereka bertemu dengan Bung Hatta, Sjahrir dan tokoh proklamator Indonesia lainnya.
Sama seperti melawan Nian, para pejuang Cina itu tidak akan berhenti melakukan perlawanan andaikata raksasa Belanda (The Big Other) belum enyah. Prosesi kelahiran Sumpah Pemuda juga tidak lepas dari peran Johan Muhammad Tjia, seorang pejuang keturunan Cina. Johan Mohammad Tjia waktu itu berpartisipasi sebagai seorang panitia mewakili dari Jong Islamieten Bond dan menjabat sebagai Pembantu I.
Pejuang Cina juga melakukan propaganda guna menyebarluaskan semangat perlawan terhadap Neo-Nian (imperliasme). Mereka bergabung menerbitkan surat kabar Sin Po. Surat kabar itu berbahasa Cina dan diperuntukan bagi Cina pribumi untuk bersatu padu dengan ras melayu melawan penjajah. Koran Sin Po adalah media literasi pertama yang menulis lagu Kebangsaan Negara Indonesia, “Indonesia Raya”. Koran Sin Po juga menyebarluaskan penggunaan nama Indonesia untuk mengubah Hindia-Belanda, Bumiputera untuk mengubah Inlander, dan sebagai ujungnya “Tjina” atau Cina diganti dengan Tionghoa.
Sumbangsih mereka kemudian membuahkan hasil. Neo-Nian atau Belanda dan juga Jepang bertekuk lutut untuk kemudian Indonesia merdeka seutuhnya. Bersama dengan ras lainnya, mereka menyambut kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Periode Diskriminasi
Resolusi MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers menyatakan bahwa penerbitan pers dalam bahasa Tionghoa merupakan monopoli pemerintah. Sejak saat itu peran masyarakat Tionghoa mulai dipreteli sedikit demi sedikit. Mereka diberi kartu tanda D atau warga negara Indonesia yang diwajibkan melepaskan keturunannya dan bergabung dengan Indonesia. Mulailah muncul istilah warga negara tingkat dua di kalangan masyarakat Indonesia bagi masyarakat Tionghoa.
Selanjutnya Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto mengeluarkan kebijkan Trickle Down Effect. Sebuah paket ekonomi sumbangan dana bagi pengusaha agar mampu mengurangi penangguran. Pengusaha Indonesia waktu itu dipegang etnis Tionghoa. Bukan menjadi solusi, tetapi paket itu justeru menuai masalah karena menimbulkan kesenjangan sosial, dan pemerataan ekonomi tidak kunjung terlaksana.
Masa-masa itulah, para warga Tionghoa atau Cina yang semula memiliki mental melawan kesewenang-wenangan macam Nian, berubah menjadi Nian itu sendiri. Mereka menyulut perlawanan terhadap Nian kepada warga yang diintimidasi oleh Nian. Meletuslah proses penjarahan dan berujung pada Reformasi 1998.
Melawan Nian Gaya Baru
Bagaimana pun, Tionghoa kemudian dikembalikan ke semangat awalnya. Diskriminasi terhadap mereka dihapuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Mereka, etnis Cina Tionghoa, diberikan hak sama dengan warga pribumi karena mereka pun sejatinya adalah pribumi. Terlebih, mereka juga menjadi bagian besar dari sejarah Indonesia.
Kini, di era Jokowi, tentunya semangat Cina yang dibawa dalam darah masyarakat Tionghoa diuji kesetiaannya. Peran mereka dikembalikan dalam bentuk yang lain, yakni perlawanan terhadap Neo-Liberalisme yang bisa juga disebut Neo-Nian. Imlek adalah sarana Revolusi Mental bagi kita dan juga tentunya etnis Tionghoa (Cina) untuk membuktikan jati diri dan kesetiaan mereka terhadap Indonesia. Dengan sejarah yang begitu panjang, mereka diharap tidak lupa, bahwa Imlek adalah sejarah perlawan. Perlawan terhadap Nian yang kini telah menjadi Neo-Nian dengan nama Neo-Liberalisme.
*Penulis adalah Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute