KUNINGAN (CT) – Proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang menjadi program pemerintah Presiden Joko Widodo, 50 persennya menggunakan sumber energi batu bara. Konsekuensinya, emisi karbon akan meningkat, akan mempengaruhi suhu bumi yang setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan.
“Saat pertemuan di Perancis, peneliti menetapkan suhu tidak boleh naik dari 2 derajat. Batas maksimal sebenarnya adalah 1,5 derajat. Sementara kita masih perlu energi, dimana 50 persen berasal dari batu bara. Perlu diketahui, 1 dari 8 kematian itu akibat pencemaran batu bara,” ungkap Pius Ginting, Kepala Bidang Kajian Batu Bara, Walhi Nasional, saat memaparkan materi pada kegiatan Pelatihan Masyarakat Anti Batu Bara, di Villa Anugerah, Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jum’at (12/02).
Pius menjelaskan, zat berbahaya dari PLTU batu bara, yakni nitrogen oksidan, sulfur dioksida yang membentuk partikel halus. Partikel halus tersebut, berukuran mikron, itu bisa masuk ke pembuluh darah jantung, menyebabkan kematian.
Kemudian, kata dia hujan asam yang juga bisa merusak bangunan dan merugikan produktifitas pertanian. Selain itu, zat merkuri, dimana di Indonesia belum diatur.
Zat tersebut, lanjutnya jika diminum secara langsung dampaknya tidak ada, namun, jika sudah masuk ke zat makanan, seperti air sungai atau laut yang tercemar merkuri, sehingga ikan memakan zat itu, kemudian ikan tersebut dikonsumsi, dampaknya sangat berbahaya langsung ke saraf, bisa menyebabkan autisme.
“Kita ini diberikan teknologi PLTU yang lebih buruk dari negara seperti Jepang, Jerman dan lainnya. Perbandingannya sampai 10 kali lipat dengan Jepang. Sayangnya, akademisi tidak melakukan penelitian menganai hal ini. Diperparah, di Indonesia belum ada regulasi atau izin pembuangan emisi di udara. Ini yang mau kita ketatkan proses perijinannya. Sistem regulasi Indonesia saat ini masih seperti tahun 1970. Inilah yang harus direvisi dan diperketat, dan untuk merevisi harus ada desakan dari masyarakat sipil,” pungkasnya. (Riky Sonia)