Perempuan Merebut Ruang Politik di Desa

Oleh FARIDA MAHRI*

PAK, di kampung ini kami seringkali punya masalah ketersediaan air. Di musim kemarau saya ngangsu air dari rumah tetangga, air di sumur keluarga saya sudah asat. Sementara kalau hujan tiba, kami kebanjiran, bahkan warga terpaksa mandi dan mencuci di sungai yang airnya juga sudah asat, bagaimana ini solusinya?,” tanya Romjah,  salah satu anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) kepada calon kepala desa.

Malam itu 8 Oktober 2017, sekitar dua puluh orang perempuan berkumpul di rumah Fatimah, kader PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang juga ketua KWT Mawar Harmoni Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Mereka berkumpul untuk berdialog dengan salah satu calon kepala desa yang akan maju dalam pemilihan kepala desa Setupatok pada akhir  Oktober  ini.

Acara ini baru pertama kali mereka lakukan. Sebelumnya mereka tidak pernah sama sekali punya kesempatan dialog secara terbuka baik dengan para calon maupun dengan Kepala Desa yang sudah menjabat. Acara dialog ini ditawarkan kepada seluruh calon kepala desa Setupatok yang berjumlah 4 orang. Selain untuk menyampaikan aspirasi, dialog ini diharapkan memberikan gambaran perihal calon kuwu yang akan dipilih. Dari jawaban atau tanggapan calon kepala desa saat dialog, para perempuan dapat menilai masing-masing calon untuk menjatuhkan pilihan.

Sebenarnya perempuan adalah kelompok pemilih terbesar khususnya di dusun Karangdawa ini. Sebagian besar laki-laki usia 19 -50 tahunan pergi merantau ke luar kota Cirebon bahkan ke luar Jawa untuk mencari nafkah. Dengan demikian praktis yang tersisa di kampung adalah perempuan dan anak-anak. Namun posisi ini belum dilirik oleh para calon kepala desa.

Partisipasi Politik Perempuan

Dalam percaturan politik suara perempuan memang sering dipandang sebelah mata, para kontestan pemilihan lebih sering mendekati pemilih laki-laki ketimbang perempuan untuk mendapatkan dukungan. Hal ini terkait kepercayaan bahwa perempuan tidak punya pilihan bebas, dia akan mengikuti pilihan yang disodorkan oleh suami atau bapaknya. Perempuan juga dipandang tidak suka berpolitik, hanya mengandalkan perasaan bukan logika saat menentukan pilihan. Kepercayaan ini dimiliki oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Studi yang dilakukan oleh Program Studi Sosiologi–Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW menjelang pemilu dan pemilu 2014 di Kota Salatiga mengungkapkan perempuan tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai arti suaranya dalam pemilihan. Pilihan perempuan juga lebih banyak ditentukan oleh laki-laki.[i] Hal yang sama terjadi di dusun Karangdawa.

BACA JUGA:  TOKOH

Munculnya pandangan sterotype terhadap perempuan dalam soal politik tidak dapat dilepaskan dari ideologi patriarki yang demikian kuat di masyarakat. Dalam sistem masyarakat yang patriarch, laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan, tidak hanya di ranah domestik tetapi juga di ranah publik yang mengakibatkan penyingkiran perempuan dalam proses-proses pengambilan keputusan politik. Suara perempuan bukanlah suara bebas tetapi bias keputusan laki-laki.

Dalam konteks kebijakan dimana pada dasarnya perempuan dan laki-laki merupakan sama-sama subyek dan obyek dari sebuah kebijakan, hal ini dapat mengakibatkan kebutuhan-kebutuhan maupun penanganan masalah-masalah perempuan tidak terwakili dalam kebijakan maupun program yang dijalankan pemerintah. Sebagai contoh perkawinan usia dini seringkali tidak menjadi konsen para pemangku kebijakan di tingkat desa. Padahal praktek perkawinan anak banyak terjadi di desa-desa yang menyebabkan mereka menjadi korban.

Masalah lain yang sering mengemuka misalnya masalah ketersediaan air. Air merupakan kebutuhan utama manusia, dan perempuan terkena dampak yang lebih  ketimbang laki-laki dalam urusan air. Perempuan harus mencuci, memasak, mengurus anak, juga untuk kebersihan dan semua kegiatan tersebut membutuhkan air. Namun lagi-lagi masalah ini luput dari kebijakan karena perempuan tidak pernah dapat menyuarakan aspirasinya.

Pendidikan Politik Perempuan

Politik pada dasarnya bukan hanya soal perebutan kekuasaan. Menurut Aristoleles (384 SM – 322 SM) seorang filsuf Yunani, politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.[ii] Namun demikian dalam kenyataannya, meskipun perempuan juga warga negara tidak serta merta perempuan terlibat dalam usaha-usaha tersebut. Akibatnya banyak kebijakan rentan tidak mewakili kebutuhan perempuan atau malah diskriminatif terhadap perempuan.

The Indonesian Institute (2017) mencatat pada Pemilu 2014 hanya ada 97 (17,3 persen) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Perempuan) dari total 560 kursi yang tersedia. Angka ini menurun dari periode sebelumnya, dimana ada 103 anggota DPR perempuan (18,4 persen). Menurutnya penurunan ini memberi dampak terhadap munculnya kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, contohnya perda-perda tentang pakaian dan larangan keluar malam.[iii]

BACA JUGA:  Ratusan Siswa SMK Salafiyah Plumbon Ikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah

Untuk memastikan kebijakan pemerintah menjawab kebutuhan warga baik laki-laki dan perempuan oleh karenanya ruang-ruang pendidikan politik perempuan sangat diperlukan. Kegiatan belajar isu-isu sosial politik terutama yang dekat dengan kehidupannya di tingkat desa perlu ditingkatkan. Riset-riset secara partisipatif dengan melibatkan perempuan di tingkat desa perlu digalakkan. Dengan menguasai pengetahuan diharapkan perempuan lebih percaya diri dan berani menyuarakan aspirasinya untuk penentuan kebijakan politik.

Di dusun Karangdawa pendidikan politik dimulai dengan diskusi-diskusi kecil di dalam tubuh Koperasi Wanita Tani (KWT) yang konsern terhadap pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi dan ketahanan pangan. Dari diskusi-dikusi tersebut mencuat kegelisahan bersama yang mengerucut menjadi keinginan untuk desa yang lebih baik.

Sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama ini, di dusun Karangdawa di tahun 2017 ini, dipimpin oleh Fatimah, para perempuan baik tua maupun muda berupaya menunjukkan aspirasi politiknya demi kemajuan desa Setupatok, khususnya dusun Karangdawa.

Dalam dialog tersebut para perempuan mengungkapkan keresahannya terkait lambatnya pengurusan adiminstrasi penduduk, masalah ketersediaan air, sampah yang menumpuk, pengangguran tenaga kerja muda, infrastruktur jalan, bantuan yang tidak tepat sasaran, dan lain-lain. Fatimah mewakili kelompok perempuan meminta komitmen politik calon kepala desa untuk melakukan pemetaan sosial dan spasial secara partisipatif dan pelibatan kelompok perempuan serta anak muda dalam program desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program. Komitmen politik ini akan diwujudkan dalam sebuah kontrak politik yang ditandatangani oleh calon kepala desa dan perwakilan perempuan. Dengan demikian diharapkan program desa benar-benar dirasakan oleh warga. []

*Pendiri dan Koordinator Umum Yayasan Wangsakerta.


[i] Arianti Ina Restiani Hunga, Suara Perempuan Kemana?: Tantangan Keterwakilan Perempuan

Dalam Pemilu 2014, makalah, Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Univ. Kristen Satya Wacana,

Salatiga: 2017

[ii] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: 2010.

[iii] Lola Amelia, Partisipasi Politik Perempuan pada Pilkada Serentak 2017 dalam Jurnal Update

Indonesia: Tinjauan Bulanan Ekonomi, Hukum, Keamanan, Politik dan Sosial , Volume XI-2

Februari 2017, The Indonesian Institute, Jakarta

Tinggalkan Balasan ke Ummu naufa Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar

  1. Perempuan memiliki peran strategis dalam kehidupan rumahtangga dan bermasyarakat. Sebagai mitra suami membangun rumahtangga yang kondusif bagi tumbuhkembang calon generasi masa depan yang siap membangun bangsa. Peran ini tidak dapat berjalan lancar jika ibu sibuk secara fisik dan pikiran di luar rumah dan tidak cukup ilmu dalam memanajemen rumahtangga dan pendidikan anak. Perempuan juga memiliki tanggungjawab membentuk masyarakat yang sehat, peduli serta berkontribusi bagi bangsa dengan memberikan edukasi di tengah masyarakat dalam forum-forum perempuan, menyampaikan gagasan serta aspirasi kepada pemerintah agar kebijakan pemerintah sesuai dengan fitrah kemanusiaan yaitu menerapkan aturan sang Pencipta.